Estimated reading time: 5 menit
Prof. Dr. Ir. Drajat Martianto Ketua Pengurus KFI
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan dan melaksanakan program Fortifikasi Pangan Skala Besar pada garam, tepung terigu, dan minyak goreng. Hingga saat ini program fortifikasi masih memerlukan pengembangan untuk dapat memberikan dampak yang maksimal. Fortifikasi beras masih dalam persiapan untuk melakukan integrasi industri fortified rice kernel dengan penggilingan padi dan memperkuat industri FRK domestik. Sementara itu, fortifikasi minyak goreng yang sudah berjalan masih perlu ditingkatkan lagi cakupannya dengan implementasi peraturan wajib tentang minyak sawit tanpa merek. Fortifikasi tepung terigu dengan jenis zat besi yang baru sudah diimplementasikan dan harus ditindaklanjuti dengan studi efektivitas. Fortifikasi garam masih membutuhkan dukungan regulasi pemerintah daerah untuk mencapai target USI di tingkat kabupaten. Pembentukan forum LSFF (Large-scale food fortification) untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar pemangku kepentingan. Untuk menjaga keberlanjutan program fortifikasi pangan dalam pengurangan kelaparan tersembunyi, peningkatan produktivitas manusia dan kesehatan masyarakat, isu fortifikasi pangan dan biofortifikasi harus dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2025-204.
Dalam implementasinya, fortifikasi pangan wajib menghadapai tantangan sebagai berikut:
Fortifikasi garam beryodium
- Capaian pemanfaatan garam beriodium yang memenuhi syarat baru mencapai 77% (Riskesdas 2013) karena masih cukup banyaknya kendala menyediakan 100% garam yang memenuhi syarat;
- Kendala utama yang harus dihadapi:
- Disparitas harga antara garam yang diperkaya dan tidak diperkaya dengan
- iodium
- Garam tradisional tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)
- Kelanjutan pasokan KIO3 belum terjamin
- Penurunan perhatian terhadap program fortifikasi garam karena salah tafsir
- asupan garam beryodium yang berlebihan
- Tidak semua pemerintah daerah memiliki peraturan untuk mengontrol secara
- efektif distribusi dan kualitas garam beryodium
- Keterbatasan ketersediaan data mutakhir (cakupan garam, Iodine excretion) menghambat pengambilan keputusan untuk perencanaan dan monev berbasis data
Fortifikasi tepung terigu
- Kelangsungan fortifikasi wajib tepung terigu cukup rentan terhadap isu perubahan situasi perdagangan internasional/fair trade, pandemic, krisis pangan dan perubahan peraturan standard fortificant sehingga memerlukan pencermatan dari pengambil kebijakan dan pelaku usaha untuk dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi dan melakukan adaptasi secara tepat memperhitungkan dampaknya bagi gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia;
- Pemerintah Indonesia telah menyesuaikan SNI terbaru yang diterbitkan tahun 2021 yang secara khusus menetapkan perubahan jenis zat besi Fe- Fumarat/FeSO4/Fe-Na-EDTA menggantikan Fe-elemental. Namun demikian, perubahan ini belum ditunjang oleh studi efektivitas (effectiveness) yang sangat diperlukan untuk mengevaluasi efektivitasnya di tingkat masyarakat;
- Hingga saat ini, belum adanya sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi untuk memantau program fortifikasi ini
Fortifikasi minyak goreng sawit
- Implementasi fortifikasi mengalami dinamika yang cukup tinggi dipengaruhi situasi perdagangan internasional sesuai fungsi produk sawit sebagai pangan dan non pangan (bioenergy); Pemerintah telah melakukan beberapa kali relaksasi fortifikasi wajib minyak goreng sawit, namun relaksasi dilakukan hanya untuk penanda SNI, bukan untuk syarat mutu
- Ketentuan tentang SNI hanya berlaku pada minyak goreng sawit dalam kemasan (s/d 25 kg) yang cakupannya baru mencapai sekitar 30% konsumen, sementara rumah tangga berpendapatan rendah umumnya mengonsumsi minyak goreng sawit curah (cakupan sekitar 70%), sehingga efektifitas fortifikasi vitamin A terhadap peningkatan status vitamin A masyarakat diduga masih rendah.
- Terkait butir diatas, saat ini belum ada instrument peraturan yang memungkinkan untuk mewajibkan fortifikasi pada minyak goreng curah sehingga penyelesaian masalah ini memerlukan terobosan peraturan dan sistem penjaminan mutunya (termasuk titik pengawasan mutunya)
- Pemerintah tengah melakukan Upaya pengembangan teknologi agar proses produksi minyak goreng bisa mempertahankan kadar B-Karotennya untuk menghadapi kemungkinan kelangkaan fortificant Vitamin A (Retinil Palmitat) yang semakin besar kebutuhannya dan cenderung semakin mahal. Masih diperlukan kajian lebih lanjut terkait daya terima masyarakat dan efektifitasnya
- Sejauh ini belum ada pedoman dalam mencampur vitamin A dan minyak goreng untuk menghasilkan kualitas minyak goreng yang terstandarisasi
- Belum tersedianya rapid test kit untuk vitamin A dan beta karoten untuk evaluasi kadar vitamin A pada minyak goreng/Beta-Karoten pada Minyak Goreng Sawit
Fortifikasi Beras
- Beras adalah komoditas pangan pokok yang paling potensial untuk difortifikasi dengan zat besi dll, namun di sisi lain hambatan fortifikasi beras cukup banyak :
- banyaknya jumlah pelaku penggilingan padi kecil (kapasitas produksi ≤1.500 Kg gabah) yang akan menyulitkan koordinasi dan pengawasan mutu;
- terbatasnya industri FRK (Fortified Rice Kernel) dan mahalnya harga FRK Impor yang masih mendominasi FRK yang digunakan saat ini;
- masih mahalnya tambahan biaya FRK biaya dan pencampuran (mixing/blending) serta pengemasan beras fortifikasi karena pencampuran dilakukan pada beras kemasan;
- Upaya menurunkan biaya fortifikasi dapat dilakukan, antara lain melalui integrasi industri FRK dengan penggilingan padi, dan memperkuat industri FRK domestik melalui penetapan kebijakan fortifikasi beras jangka panjang,
- Kebijakan (termasuk target) Fortifikasi Beras untuk Bantuan Sosial melalui BPNT (Bantuan Pangan Non-Tunai) sudah tercantum dalam RPJMN 2020-2024, namun implementasinya masih menghadapi kendala, khususnya terkait pembiayaan biaya tambahan, dan kebijakan bantuan sosial yang mengalami perubahan (tidak ada lagi BPNT). Alternatifnya bisa dilakukan melalui penyaluran cadangan pangan sebagai BAPANAS melalui Bapanas menggunakan skema kemitraan BULOG/BUMN dan Penggilingan padi di tiap wilayah sasaran, sekaligus sebagai Upaya penguatan cadangan pangan daerah.
Biofortifikasi
Biofortifikasi pangan merupakan salah satu solusi mengatasi masalah gizi jangka Panjang berbasis pertanian yang dapat diterapkan bukan hanya untuk padi-padian (beras, jagung, dll), tetapi juga umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, dll), kacang-kacangan, dsb dan berdampingan dengan program fortifikasi dan diversifikasi pangan
Tantangan:
- “Hanya” satu zat gizi, belum bisa multi-micro-nutrient seperti fortifikasi pangan
- Jenis varietas yang ada saaat ini belum sesuai dengan masalah gizi yang dihadapi (Anemia Gizi Besi, KVA, GAKI), sehingga pemasyarakatnnya harus terintegrasi dengan program Diversifikasi Pangan
- Daya terima (warna, ukuran, tekstur, dll) masih sering menjadi masalah
- Memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan satu varietas baru
Rekomendasi
Berdasarkan diskusi Pra-Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi, rekomendasi yang telah dirumuskan adalah sebagai berikut:
- Untuk memastikan keterlibatan bisnis dan investor dalam program fortifikasi pangan, diperlukan upaya untuk memastikan terakomodasikannya isu Fortifikasi dan Biofortifikasi Pangan Berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 – 2045, yang kemudian dirinci dalam setiap rencana lima tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
- Diperlukan detail rencana, tahapan, target, dan timeline Fortifikasi Pangan Skala Besar (LSFF) untuk memandu pelaksanaan program fortifikasi & biofortifikasi
- Dalam mengantisipasi dan menangani masalah teknis dan non-teknis diperlukan Working Group/Forum Public Private Partnership (PPP) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program fortifikasi pangan nasional, meliputi penelitian (pengembangan produk/efikasi, efektivitas, CBA, dll) regulasi, standardisasi, capacity building (SDM, teknologi, panduan), penganggaran, edukasi, advokasi, monitoring dan evaluasi terintegrasi.
Terkait:
test comment