Estimated reading time: 8 menit
Ir. Emil Satria Direktur Industri Makanan Hasil Laut dan Perikanan (IMHLP) Direktorat Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian Dr. Jenny Elisabeth Direktur Politeknik Wilmar
Industri minyak sawit dan hilirisasinya memegang peran penting dari aspek kualitatif antara lain menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi di Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, menggerakkan aktivitas produksi kegiatan usaha kebun sawit utamanya di daerah terluar, tertinggal dan terpencil, menjaga kedaulatan ekonomi, menumbuhkan industri baru berbasis sawit. Dari aspek kuantitatif, industri ini menyerap tenaga kerja sekitar 5,2 juta orang, meningkatkan nilai ekonomi hulu dan hilir serta nilai ekspor, memberikan kontribusi PDB sekitar 3,5%, pendapatan pajak serta pungutan ekspor. Data terakhir, 2021, menunjukkan jumlah pabrik pengolahan minyak sawit sebanyak 104 pabrik dan 137 ’repacker dengan jumlah produksi minyak goreng sawit (MGS) sekitar 22,4 juta kilo liter dan yang di ekspor 11,82 juta ton setara 13.13 juta kilo liter sama dengan 12,25 miliar US dollar. Saat ini kebutuhan MGS nasional sebanyak 5,8 juta kilo liter (25,8% dari produksi dalam negeri) untuk memenuhi konsumsi MGS sejumlah 11,5 liter per orang per tahun.
Beberapa keuntungan yang didapatkan dari hilirisasi industri minyak sawit, antara lain:
- Menggerakkan kegiatan ekonomi produktif melalui industrialisasi hilir untuk mencapai tujuan substitusi impor dan promosi investasi,
- Menyehatkan neraca perdagangan dan memperkuat nilai tukar rupiah melalui kinerja ekspor produk hilir kelapa sawit bernilai tinggi,
- Menjadi penggerak pembangunan daerah sentra produsen kelapa sawit dan perekonomian nasional khususnya wilayah 3T (terluar, tertinggal, dan terdalam, mengendalikan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan bahan bakar transportasi terbarukan (renewable) – ramah lingkungan,
- Mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan energi melalui penggunaan bahan bakar nabati, dan mendapat dukungan dari operasional industri perkelapasawitan hulu dan hilir yang ramah lingkungan dan lestari berkelanjutan.
Perjalanan Fortifikasi Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
Pada tahun 2012, Badan Sertifikasi Nasional (BSN) telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709:2012 tentang minyak goreng sawit. Didalam SNI tersebut tercantum dengan jelas setiap minyak goreng yang beredar di Indonesia harus ada kadar vitamin A sebesar 45 IU. Pada tanggal 13 Agustus 2012, terbit surat permintaan Menteri Kesehatan melalui surat Nomor GK/MenKes/280/VIII/2012 kepada Menteri Perindustrian agar MGS difortifikasi vitamin A (SNI 7709:2012) dapat diberlakukan wajib dengan pertimbangan bahwa MGS adalah pangan yang tepat sebagai pengantar vitamin A kepada masyarakat. Surat tersebut didasarkan bahwa penambahan kandungan vitamin A ke dalam minyak goreng terbukti meningkatkan kadar vitamin A pada kelompok rentan ibu hamil, bayi 6-11 bulan, anak balita 12-59 bulan, anak sekolah dan remaja dan wanita usia produktif. Pada tahun 2013, Kementerian Perindustrian menerbitkan Permenperin nomor 87/2013 tentang pemberlakuan SNI 7709:2012 secara wajib mulai 27 Maret 2015 namun dilakukan pengunduran pemberlakuan menjadi 27 Maret 2016 dan pengunduran kedua menjadi 31 Desember 2018. Pada tahun 2019 diterbitkan SNI 7709-2019 secara wajib dengan pemberlakuannya sesuai Permenperin 46/2019 namun pemberlakuannya dengan masa transisi hingga Desember 2020, dan tahun 2021 SNI tersebut diberlakukan secara efektif.
Perbedaan utama SNI 7709:2012 dan SNI 7709:2019 yaitu Permenperin 87 tahun 2013 tercantum ’dengan penambahan vitamin A’ yang dapat diartikan ’fortifikasi vitamin A’ sedangkan pada Permenperin 46 tahun 2019 tertulis ’mengandung vitamin A dan/atau provitamin A’ yang dapat diartikan tidak hanya fortifikasi vitamin A saja’ namun juga upaya mempertahankan provitamin A atau beta karoten. Secara rinci, SNI 7709:2012 mendefinisikan minyak goreng sawit adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A. Sedangkan SNI 7709:2019, minyak goreng sawit adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak kelapa sawit yang telah melalui proses fraksinasi dengan atau tanpa penambahan pangan lain dan bahan pangan, mengandung vitamin A dan/atau provitamin A.
Permenperin no 46 tahun 2019 mengatur pelaku usaha terkait produsen, pengemas, perwakilan perusahaan dan/atau importir. Pengaturan tersebut menjelaskan bahwa ’produsen’ MGS harus memiliki alat fraksinasi, tangki penyimpanan, mesin pengemas, dan peralatan uji mutu. Sedangkan ’pengemas wajib memiliki tangki penyimpanan, mesin pengemas, dan peralatan uji mutu. Permenperin tersebut juga mengatur sistem sertifikasi terkait pengujian mutu MGS, audit proses produksi/pengemasan berdasarkan penerapan ISO 9001:2015 atau ISO 22000:2018 atau sistem manajemen terkait pangan lainnya. Setiap produsen dan/atau pengemas wajib menyampaikan laporan produksi setiap 6 bulan sekali melalui sistem informasi industri nasional (SIINAS).
Pemerintah melakukan relaksasi pemberlakuan SNI MGS secara wajib dengan menerbitkan Surat Edaran Menperin No 9 tahun 2022 tentang relaksasi kebijakan pemberlakuan SNI minyak goreng sawit secara wajib dalam rangka penyediaan minyak goreng kemasan rakyat. Surat edaran tersebut berbunyi antara lain ”sehubungan dengan program pemerintah penyediaan MKGR, maka pemberlakuan SNI minyak goreng sawit secara wajib sesuai Permenperin No 46 tahun 2019, dikecualikan hingga 31 Januari 2023. Per 1 Februari 2023, pemberlakuan SNI minyak goreng sawit secara wajib mulai berlaku efektif sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 46 tahun 2019.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi SNI minyak goreng sawit:
- Sifat vitamin A: tidak stabil selama masa penyimpanan, khususnya pada kemasan yang terpapar oksigen dan cahaya matahari yang memungkinkan penurunan kadar vitamin A yang beredar di pasar; beberapa pelaku usaha harus menambahkan kadar vitamin A diatas 45 IU agar produk yang masuk ke pasar masih memenuhi syarat mutu yang ditentukan;
- Belum ada produksi vitamina A dan/atau provitamin A di dalam negeri sehingga pelaku usaha harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan;
- Adanya pendapat bahwa minyak sawit memiliki kandungan beta karoten yang cukup tinggi akan tetapi hilang setelah proses refining, bleaching, dan deodorizing sehingga ada upaya untuk memproduksi minyak makan merah.
Pada tahun 2022, BSN mendapatkan tugas dari Presiden melalui Menteri Koperasi dan UKM agar mengembangkan SNI minyak makan merah sebagai upaya pemberdayaan koperasi/petani sawit dan pemanfaatan sawit yang akhir-akhir ini banyak yang tidak terserap pabrik minyak goreng. SNI minyak makan merah dirumuskan oleh Komtek 67-04 Makanan secara fast track. SNI minyak makan merah telah terbit melalui keputusan Kepala BSN No. 350/KEP/BSN/9/2022 tentang penetapan SNI 9098:2022 Minyak Makan Merah. Minyak makan merah menurut definisi SNI adalah minyak yang diperoleh dari rafinasi tanpa pemucatan (bleaching) dan deodorisasi, dan melalui proses fraksinasi minyak kelapa sawit mentah.
Dasar pemikiran Kemenkop UKM pengembangan industri minyak goreng merah bahwa sekitar 41,44% luas lahan sawit dikerjakan oleh petani swadaya yang menghasilkan sekitar 35% Minyak sawit. Hal yang sama dilakukan di Malaysia dengan mengekspor minyak makan merah ke China, juga Republic of Cameroon untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Minyak Goreng Sawit
Kebijakan pemerintah untuk fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit belum menyentuh minyak goreng curah yang masih sekitar 70% peredarannya di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan pelarangan peredaran minyak goreng curah melalui peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur minyak goreng wajib kemasan. Peraturan ini sudah berkali-kali diundur penerapannya dengan beberapa alasan.
Dimulai pada tahun 2012, pemerintah telah menargetkan untuk menghentikan penjualan minyak goreng curah pada tahun 2015. Tahun 2016 Permendag nomor 9/M-DAG/ Per/2/2016 yang mengatur minyak goreng wajib kemasan kembali gagal diterapkan dan terakhir Permendag nomor 36 tahun 2020, yang diundangkan pada 2 April 2020, menyebutkan bahwa minyak goreng curah tidak boleh lagi beredar di pasaran mulai 1 Januari 2022 juga tidak terealisasi. Agar tujuan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit tercapai, maka kebijakan pelarangan peredaran minyak goreng curah harus segera diberlakukan. Dan agar tidak menimbulkan terlalu banyak penolakan dan masalah, maka penerapannya diusulkan secara bertahap berdasarkan area atau pemantauan di industri minyak goreng untuk mengurangi penjualan minyak goreng curah.
Fortifikasi vitamin A pada minyak curah agak sulit untuk dilakukan (meskipun memungkinkan untuk dilakukan), menimbang proses kontrol oleh pemerintah yang akan sulit dilaksanakan, serta persaingan harga jual diantara produsen yang sangat kompetitif. Disamping itu minyak goreng (dalam bentuk palm olein) yang dijual secara bulk tidak hanya untuk konsumen rumah tangga, tetapi terutama untuk konsumen industri pangan seperti mie instan, snack, biskuit, dll. Minyak goreng untuk industri tidak masuk dalam kategori produk yang perlu difortifikasi, sehingga di lapangan akan sulit untuk mencegah penggunaan minyak goreng industri yang dijual sebagai minyak goreng curah.
Minyak Sawit Merah (MSM)
Pengembangan MSM yang didorong oleh pemerintah untuk UMKM akan turut membantu tujuan program fortifikasi minyak goreng sawit dengan kandungan beta karoten yang terdapat dalam MSM. SNI minyak goreng merah sudah terbit. Di SNI minyak goreng sawit juga diberi peluang penambahan MSM sebagai sumber beta karoten (pro vitamin A). Dengan terbitnya SNI minyak goreng sawit yang telah direvisi di butir bentuk vitamin A-nya, maka banyak pihak yang sebelumnya menolak fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit sudah dapat menerimanya.
Menimbang beta karoten lebih tidak stabil dan lebih mudah rusak dibandingkan retinyl- palmitat yang digunakan sebagai fortifikan vitamin A umum yang digunakan di minyak goreng sawit, maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut tentang peran dan pengaruh MSM sebagai sumber vitamin A di masyarakat yang mengonsumsinya, serta turnover produk di pasar yang dikaitkan dengan stabilitas mutu MSM.
Mutu Minyak Goreng Sawit yang Difortifikasi dan Pengawasannya
Dengan pola penjualan minyak goreng dalam kemasan yang juga memiliki kemasan sekunder dalam bentuk kotak karton, semestinya upaya untuk melindungi minyak goreng dari paparan sinar matahari dapat dimaksimalkan untuk menjaga vitamin A agar tidak rusak. Penempatan produk minyak goreng yang hendak dijual di ruangan terbuka biasanya hanya dalam 1-3 hari, karena turnover produk di pasar yang cukup tinggi.
Kerusakan vitamin A lebih dipicu oleh adanya sinar UV dibandingkan oleh suhu tinggi, sehingga sosialisasi dan edukasi tentang handling/ penyimpanan yang benar untuk minyak goreng yang telah difortifikasi vitamin A perlu dilakukan ke pedagang dan konsumen. Upaya menghindarkan paparan cahaya sinar matahari atau sinar UV pada minyak goreng bukan hanya akan menyelamatkan kandungan vitamin A, tetapi juga mempertahankan mutu minyak goreng itu sendiri dari kerusakan oksidasi. Kerusakan oksidasi minyak goreng dapat dipantau dari kenaikan mutu bilangan peroksida, yang pada banyak kasus ditemukan meningkat jauh dari standar yang telah ditetapkan di regulasi pangan. Limit yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission adalah maksimum 10 meq/kg untuk edible oil, sementara SNI menetapkan nilai yang sama untuk produk yang masih ada di pabrik, bukan yang dikonsumsi.
Peraturan SNI sudah mengakomodir kekuatiran pengusaha/industri tentang risiko penalti yang ada, karena kandungan vitamin A 45 IU/g diwajibkan saat produk minyak goreng sawit masih di pabrik dan kandungannya di pasar masih ditolerir pada tingkat 20% dari konsentrasi wajib.
Rapid test kit untuk analisa kandungan vitamin A dan juga beta karoten pada minyak goreng sawit ataupun MSM perlu dikembangkan teknologi dan produksinya di dalam negeri, agar tidak ada ketergantungan pada instrumen impor yang terkendala dengan impor reagen yang termasuk bahan kimia berbahaya (hazardous material), serta dapat dengan harga yang lebih murah. Penelitian untuk menemukan teknologi rapid test kit ini perlu dilakukan atau ditawarkan secara top down ke peneliti di perguruan tinggi maupun lembaga penelitian.
Terkait: