Kata Pengantar
Pada periode awal hingga pertengahan tahun 2016, KFI masih disibukkan dengan kegiatan advokasi untuk terus menyadarkan semua pihak terutama para pengambil kebijakan dan industri pangan tentang makin pentingnya peran Fortifikasi Pangan sebagai bagian dari program perbaikan gizi. Dalam berbagai publikasi PBB termasuk Global Nutrition Report 2016 dan SDGs, Fortifikasi Pangan diakui berperan penting untuk mencapai lebih separuh dari 17 tujuan (Goals) SDGs yang terkait dengan gizi. Dengan fortifikasi dapat dicegah dan dikurangi jumlah penduduk yang “Kelaparan Tak Kentara” atau “Hidden Hunger” terutama dalam bentuk Anak Pendek atau “Stunting”, akibat kekurangan vitamin dan mineral dalam jangka waktu lama, diantaranya kekurang zat besi, zat iodium dan vitamin A. Kekurangan tersebut sebagian besar diderita oleh keluarga miskin, terutama anak-anak. Mereka jarang bahkan mungkin tidak pernah makan sayur, buah dan lauk pauk hewani sebagai sumber utama dari vitamin dan mineral. Bukan karena mereka tidak suka dan tidak tahu manfaatnya bagi kesehatan, tetapi terutama karena tidak mampu membelinya. Kecuali zat iodium dari garam dapur, kelompok makanan ini relatif mahal harganya. Sesuai dengan hukum ekonomi, bagi keluarga miskin penghasilan yang terbatas diutamakan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok (beras). Bagi mereka, sayur, buah, dan lauk pauk hewani bukan prioritas karena umunya diluar daya beli mereka. Dalam NL nomor ini disajikan informasi program fortifikasi pangan yang dilakukan di berbagai negara di dunia.
Jakarta, Agustus 2016
Fortifikasi Pangan bagian dari SDGs
SDGs (Sustainable Development Goals) adalah agenda pembangunan dunia untuk kesejahteraan manusia dan planet bumi, dengan program-program pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan secara partisipatif oleh seluruh negara anggota PBB. Program-program tersebut juga termasuk dalam program pembangunan nasional Indonesia, di antaranya mengatasi masalah kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan pendidikan yang membutuhkan dukungan “gizi yang cukup”. Mengingat pentingnya pemenuhan gizi dan masih banyaknya masalah gizi yang dialami penduduk dunia maka PBB juga memotori gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) sebagai bagian dari SDGs. Dalam gerakan SUN, fortifikasi pangan sebagai salah satu intervensi global perbaikan gizi, terus didorong untuk dikembangkan dan ditingkatkan efektivitasnya. Tiga intervensi gizi lainnya adalah perbaikan konsumsi menuju gizi seimbang, suplementasi gizi dan sanitasi/kebersihan. Di Indonesia, SUN dilaksanakan dalam gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Gerakan ini memperluas dan meningkatkan efektivitas program perbaikan gizi dengan kontribusi seluruh sektor, baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha, secara terintegrasi.
Para pakar ekonomi dalam lembaga penelitian “Copenhagen Concensus” telah menganalisa biaya dan manfaat dari program-program PBB, dan menyatakan bahwa fortifikasi pangan merupakan intervensi gizi yang “cost effective” sehingga menempatkannya pada salah satu prioritas utama program pembangunan (2006). Prioritas utama lainnya adalah pengendalian HIV/AIDS, malaria dan liberalisasi perdagangan. Peran dan manfaat fortifikasi pangan dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diuraikan di atas, menjadi dasar bagi KFI untuk terus mendukung pemerintah mengembangkan dan meningkatkan efektivitas program fortifikasi pangan di Indonesia. Hal ini merupakan kontribusi pada pencapaian tujuan SUN maupun SDGs.
Di Amerika dan Eropa Fortifikasi Pangan Telah Dimulai Tahun 1920an
Dalam sejarah program gizi dunia, negara-negara Amerika Utara dan Eropa telah melakukan fortifikasi sejak tahun 1920an. Waktu itu di negara-negara tersebut penduduknya banyak yang masih miskin dan kurang gizi. Dimulai dengan fortifikasi garam dengan iodium 1920an, fortifikasi susu dengan vitamin D 1930an, fortifikasi tepung terigu 1940an dan terus berlangsung sampai sekarang dengan vitamin B dan lain-lain pada berbagai produk pangan. Dengan itu berbagai kekurangan gizi di negara-negara tersebut, seperti penyakit gondok, riket, beri-beri, dan pellagra, telah diberantas tuntas. Sekarang fortifikasi merupakan pilihan program gizi utama dibanyak negara maju dan berkembang untuk mencegah berbagai penyakit dan memelihara kesehatan. Lebih dari 140 negara termasuk Indonesia, telah menjalankan fortifikasi garam dengan iodium, 83 negara fortifikasi wajib tepung terigu, termasuk Indonesia, dan 75 negara fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A.
Fortifikasi Garam dengan Iodium Mencegah Bayi Lahir Cacat Fisik dan Mental
Di Indonesia, fortifikasi tertua adalah fortifikasi garam dengan iodium oleh pemerintah Belanda tahun 1927. Kemudian terhenti karena perang dan sebagainya, baru dimulai tahun 1994 dengan Peraturan Presiden yang mengharuskan semua garam difortifikasi dengan iodium yang dikenal sebagai program “Iodisasi Garam”. Berarti lebih dari setengah abad sejak merdeka sampai awal 1990an, rakyat kita tidak dilindungi dari bahaya kekurangan iodium (GAKI). Karena itu tidak mengherankan apabila sejak jaman Belanda, Indonesia merupakan pusat penelitian gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Pada tahun 1973 tim peneliti GAKI dari UNDIP yang dipimpin oleh alm Prof. Djokomoeljanto, dokter pakar GAKI, bekerja sama dengan lembaga penelitian GAKI Internasional yang dipimpin oleh Prof. Hetzel dari Australia, menemukan desa Sengi, di Magelang yang mengalami GAKI. Di desa itu hampir semua anak (87%) kretin dan terbelakang, tidak ada yang tamat SD. Tim GAKI Prof. Djokomoeljanto melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dengan suntikan obat iodium (lipiodol) diteruskan dengan iodisasi garam. Waktu itu iodisasi garam belum menjadi program. Kurang lebih sepuluh tahun kemudian keadaan penduduk Sengi digambarkan normal seperti penduduk lainnya, namun fisik rata-rata lebih pendek, akibat kekerdilan sejak anak-anak.
Pemetaan daerah GAKI oleh Kementerian Kesehatan dan Bank Dunia tahun 1997, menunjukkan GAKI masih tersebar dari seluruh Sumatera, Jawa, NTB, NTT, Kalimantan, Maluku dan Papua. Kemungkinan besar masih terdapat “Desa Sengi“ dipedalaman Kalimantan, Papua dan lain-lain. Dengan program iodisasi garam sejak awal 1990an, 70% penduduk Indonesia telah menggunakan garam beriodium, berarti 30% penduduk belum terlindungi dari GAKI. Belum lagi dihitung penduduk yang menggunakan garam beriodium tetapi dengan mutu yang rendah, kandungan zat iodiumnya tidak mencukupi kebutuhan ibu hamil dan anak untuk mencegah terjadinya stunting (dampak ringan), atau kerdil dan cacat (akibat berat). Anak stunting juga dapat timbul bila waktu dalam kandungan sampai usia 2 tahun (1000 Hari Pertama Kehidupan) kurang iodium. Sudah waktunya memberi perhatian yang lebih serius pada masalah GAKI sebelum timbul desa-desa Sengi baru diberbagai daerah terpencil.
Fortifikasi Tepung Terigu dengan Zat Besi dan Fortifikasi Minyak Goreng Sawit (MGS) dengan Vitamin A
Masalah kurang gizi lain yang pencegahannya akan banyak tergantung pada fortifikasi adalah anemia akibat kurang zat besi, dan kurang vitamin A pada anak, ibu hamil dan ibu menyusui. Pencegahan anemia gizi besi, dalam jangka panjang banyak tergantung pada efektivitas fortifikasi tepung terigu yang di Indonesia telah menjadi fortifikasi wajib sejak tahun 2002. Pencegahan kurang vitamin A, saat ini masih tergantung pada suplemen vitamin A dosis tinggi untuk balita dua kali setahun. Jangka panjangnya juga tergantung pada fortifikasi vitamin A yang dimulai tahun 2010 dengan fortifikasi minyak goreng sawit (MGS). Pada tahun 2012 Menteri Perindustrian mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709 yang mengharuskan MGS ber SNI mengandung vitamin A 45 IU per gram. Sifatnya masih sukarela, berarti belum semua MGS harus ditambah vitamin A. Sampai tahun 2015 menurut catatan KFI kurang lebih 51% MGS telah mengandung vitamin A berbagai kadar. Sisanya (49%) tanpa vitamin A, termasuk MGS curah (tanpa kemasan) yang konsumennya sebagian besar masyarakat miskin. Padahal sebenarnya kelompok masyarakat inilah yang sangat memerlukan MGS fortifikasi vitamin A. Menurut penelitian KFI di perdesaan Jawa Barat, bagi rumah tangga miskin MGS adalah makanan satu-satunya yang dapat “dititipi” (difortifikasi) vitamin A. Dengan kata lain, bagi mereka MGS fortifikasi merupakan sumber utama vitamin A terutama bagi ibu mengandung dan menyusui, yang meneruskan vitamin A kepada bayi dan anak baduta melalui Air Susu Ibu.
Menyadari hal di atas, pemerintah meningkatkan fortifikasi MGS sukarela menjadi fortifikasi wajib mulai Maret 2016. Hal itu berarti semua MGS harus bervitamin A termasuk minyak curah. Dengan kebijakan itu ada harapan semua anak Indonesia, kaya dan miskin, dari Sabang sampai Merauke akan memperoleh vitamin A dari MGS fortifikasi. Apabila itu terlaksana itulah salah satu wujud pelaksanaan dari upaya mengurangi kesenjangan hasil pembangunan dan meningkatkan kualitas hidup bangsa, melalui upaya perbaikan gizi. Itulah salah satu bentuk peran gizi dalam ikut mewujudkan Nawacita ke-5 (meningkatkan kualitas hidup) dan ikut peta jalan SDGs. Sangat disayangkan, rencana SNI MGS Wajib Fortifikasi ditunda sampai akhir 2018.
Dengan ditundanya pelaksanaan SNI MGS Wajib Fortifikasi sampai akhir tahun 2018, ada kesan di masyarakat dan industri MGS, bahwa fortifikasi vitamin A tidak penting. Dikhawatirkan semangat industri yang telah siap untuk melanjutkan fortifikasi menjadi turun. Namun, survei MGS di pasaran yang dilakukan KFI di akhir tahun 2016 menunjukkan bahwa 42% MGS masih mengandung vitamin A. Dari hasil kunjungan ke beberapa pabrik MGS di daerah-daerah, mereka menyadari pentingnya memproduksi MGS. Meskipun tidak menguntungkan, fortifikasi juga tidak merugikan. Mereka percaya perhitungan para pakar ekonomi gizi bahwa fortifikasi sangat “cost effective“, karena ikut meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat miskin terutama anak-anak.
A Comparison of Retinyl Palmitate and Red Palm Oil β-Carotene as Strategies to Address Vitamin A Deficiency
Authors : Ellie Souganidis, Arnaud Laillou, Magali Leyvraz, and Regina Moench-Pfanner.
Abstract
Vitamin A deficiency continues to be an international public health problem with several important health consequences including blindness and overall increased rates of morbidity and mortality. To address this widespread issue, a series of strategies have been put into place from dietary diversification to supplementation and fortification programs. Retinyl palmitate has been used successfully for decades as a supplement as well as a way to fortify numerous foods, including vegetable oil, rice, monosodium glutamate, cereal flours and sugar. Recently, there has been rising interest in using a natural source of carotenoids, β-carotene from red palm oil (RPO), for fortification. Although RPO interventions have also been shown to effectively prevent Vitamin A deficiency, there are numerous challenges in using beta-carotene from RPO as a fortification technique. β-Carotene can induce significant changes in appearance and taste of the fortified product. Moreover, costs of fortifying with beta-carotene are higher than with retinyl palmitate. Therefore, RPO should only be used as a source of Vitamin A if it is produced and used in its crude form and regularly consumed without frying. Furthermore, refined RPO should be fortified with retinyl palmitate, not β-carotene, to ensure that there is adequate vitamin A content.
RISET GIZI
Pemberian Multi Micro Nutrient (MMN) pada Periode Pra-kehamilan Meningkatkan BB Lahir dan Berpotensi Mengurangi Angka BBLR
Disertasi DR. Sri Sumarmi (Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNAIR, Agustus 2016)
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengoptimalkan asupan gizi pada awal kehidupan yang dimulai sejak masa kehamilan, bahkan sebelum kehamilan (pra-konsepsi). Penanganan gizi sedini mungkin dipercaya dan diperkuat oleh banyak studi, akan mampu mengoptimalkan pertumbuhan anak. Salah satu studi yang menguatkan hal ini adalah studi yang dilakukan oleh DR. Sri Sumarmi mengenai dampak pemberian multi micronutrient (MMN) pada periode awal kehamilan atau pra-konsepsi terhadap output kehamilan, yaitu berat lahir anak. MMN tersebut bekerja dengan cara meningkatkan respon imun dan sintesis hormon pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan janin, meningkatkan berat lahir dan meningkatkan kemampuan hidup dan tumbuh berkembang bayi setelah berada di luar kandungan, serta mencegah kelahiran prematur dan komplikasi kehamilan. Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan baru bahwa status zat gizi mikro pada masa 2-6 bulan sebelum hamil (periode prakonsepsi) merupakan momen yang paling efektif dalam meningkatkan kualitas kehamilan, diantaranya dalam hal berat badan lahir, besar plasenta dan sistem imun. Lebih jauh lagi, pemberian MMN pada periode sebelum kehamilan merupakan salah satu sarana untuk menurunkan angka BBLR, prematuritas, miscarriage, serta mencegah kemungkinan komplikasi kehamilan lainnya, sebagai upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.