Studi Literatur: Efektivitas Penambahan Zat Besi (Fe) sebagai Fortifikan pada Beras untuk Mengatasi Anemia

Abstrak: Defisiensi besi merupakan penyebab utama terjadinya anemia. Anemia merupakan suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemogobin kurang dari normal. Zat besi merupakan salah satu fortifikan yang sering ditambahkan dalam bahan pangan untuk menambah nilai gizi zat tersebut dalam mencegah defisiensi anemia. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, internet dan buku untuk menemukan efektivitas fortifikasi zat besi pada beras pada berbagai populasi, jenis dan jumlah zat, serta durasi intervensi. Penelitian ini merangkum beberapa efektifitas fortifikasi zat besi pada beras padal berbagai lpopulasi, berdasarkan jenisl dan jumlahl zat lbesi, serta berdasarkan durasi intervensi.

PENDAHULUAN

Kekurangan zat besi adalah penyebabl utama lanemia, diperkirakan 2 miliarl orang penduduk dunia menderital anemia, danl 75-l80% kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi. Salah satu cara pencegahan dan penanggulangan defisiensil besi adalahl fortifikasi besil (Justiti dan Ninik, 2016). Dari 1,62 miliarl orang penduduk dunia yang menderital anemia, 25,4% adalah usia sekolah dasar (Kasumawati et al., 2020). Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi anemia di seluruh dunia masih berkisar antara 40 hingga 88%. Menurut survei kesehatan rumah tangga, prevalensi anemia pada anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%. Menurut Survei Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2018), prevalensi anemia nasional adalah 48,9% dengan proporsi anemia ada di kelompok umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun (Kasumawati et al., 2020).

Umumnya anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi (Prasetya et al., 2019). Anemia defisiensi besi memiliki tiga penyebab, termasuk asupan dan penyerapan zat besi yang buruk. kehilangan darah kronis; Pada masa pubertas, kebutuhan zat besi untuk pembentukan sel darah merah meningkat. Anemia juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti menstruasi, kebiasaan sarapan, status gizi, pertumbuhan ibu serta adanya protein dan inhibitor yang tidak diperlukan terutama oksalat dan tanin (Jaelani et al., 2017).
Anemia adalah penyakit dimana kadar hemoglobin di bawah normal. Anemia didiagnosis ketika jumlah sel darah merah kurang dari 13,5% pada pria dan kurang dari 12,0% pada wanita. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi anemia di Indonesia adalah 21,7%, laki-laki 18,4% dan perempuan 23,9%. Rata-rata 26,4% untuk usia 5-14 tahun dan 18,4% untuk usia 15-25 tahun (Yuniarti dan Zakia, 2021). Gejala anemia antara lain lemas, letih, lesu, pusing, kepala terasa ringan, pucat pada kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan (Prasetya et al., 2019).

Fortifikasi adalah penambahanl satu ataul lebih mikronutrien tertentul pada makanan untukl menambah nilai gizil guna mencegah defisiensi dan meningkatkan kesehatan (Astuti et al., 2014). Fortifikasi lmakanan dianggap sebagail salah satul cara terbaik untukl mencegah defisiensi nutrisi. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih mikronutrien spesifik kedalam makanan untuk meningkatkan nilai gizinya (Astutik et al., 2019). Fortifikasi dirancang untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan yang disebabkan oleh defisiensi mikronutrien. Fortifikasi tambahan biasanya berupa asam amino, vitamin dan mineral (Rokhmah et al., 2022).

Ada beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan dan sasaran fortifikasi pangan secara optimal. Syarat pertama yaitu produk pangan yang difortifikasi merupakan Kondisi fortifikasi makanan yang berbeda dipertimbangkan. Secara khusus penggunaan fortifikasi pangan merupakan makanan pokok seluruh penduduk termasuk masyarakat miskin, dan sifat organoleptic bahan pangan fortifikan tidak berbeda dengan sifat aslinya, bahan fortifikasi atau bahan bakunya, bahan yang difortifikasi aman dan bisa dikonsumsi, produk pangan yang difortifikasi terbatas jumlahnya (Rokhmah et al., 2022).

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia (Yulia et al., 2020). Bentuk olahan beras utama yaitu nasi, memiliki keunggulan dibanding makanan lainnya yaitu karbohidrat dan energi yang lebih tinggi yaitu 79 g dan 360 kkal (Utama, 2015). Oleh sebab itu, nasi menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dari segi kalori, beras merupakan sumber energi yang baik (360 kkal/100 gram), akan tetapi bukanlah sumber mikronutrien yang baik. Setiap 100 g beras hanya mengandung 1 mg zat besi, dan 0,63 mg zat seng (Radix et al., 2012). Fortifikasi dianggap sebagai cara termudah untuk mencapai standar pemenuhan zat gizi tertentu pada masyarakat luas dan cocok untuk tujuan jangka panjang serta dapat memberikan dampak pada kelompok masyarakat tertentu (Allen et al., 2006; Nagar et al., 2018). Peneliti terdahulu melaporkan bahwa beras berpotensi besar untuk dijadikan bahan fortifikan zat besi. Kusnandar et al., (2020) menyebutkan bahwa fortifikasi zat besi dalam bentuk feri pirofosfat sebesar 5000 mg per 100 bagian beras dapat menghasilkan beras dengan kadar zat besi sekitar 50 mg/1000 g beras.

Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa sebagian masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras dan menurut Survei Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2018), prevalensi anemia nasional adalah 48,9%. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa penambahan zat besi (Fe) sebagai fortifikan beras sangat diperlukan, demikian juga dengan efektivitasnya. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui efektivitas penambahan zat besi sebagai fortifikan beras pada berbagai populasi, efektivitas penambahan zat besi sebagai fortifikan beras berdasarkan jenis dan jumlah zat besi, dan efektivitas fortifikasi zat besi pada beras berdasarkan durasi intervensi.

Kajian lainnya:

ID