Estimasi waktu baca: 3 menit
Hidden hunger atau kelaparan tersembunyi merupakan kondisi Kekurangan Gizi Mikro (KGM) khususnya zat besi, seng, yodium, serta vitamin A di dalam tubuh. Kelaparan tersembunyi umumnya tidak dapat dilihat secara kasat mata karena harus melalui pengujian klinis untuk diagnosis lebih lanjut. Namun meskipun “tersembunyi”, dampak dari kondisi ini sangat besar. Namun, karena alasan ekonomi serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran terhadap konsumsi pangan bergizi seimbang, sebagian dari penduduk Indonesia masih mengalami kerentanan pangan dan gizi, khususnya kekurangan zat gizi mikro atau disebut dengan “kelaparan tersembunyi”. Beberapa defisiensi zat gizi mikro yang umum ditemukan antara lain yodium, zat besi, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B.Kondisi defisiensi tersebut dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak, menghambat tumbuh kembang dan kecerdasan, memperparah penyakit infeksi, serta menurunkan produktivitas dan potensi hidup sehat. Status kesehatan dan gizi yang rendah semacam ini tentu juga menghambat tercapainya pembangunan Indonesia khususnya untuk membentuk sumber daya manusia yang sehat, cerdas, berkualitas, dan berdaya saing.
Menurut WHO, solusi untuk mengatasi KGM adalah penganekaragaman pangan, fortifikasi pangan, suplementasi, dan disertai dengan upaya kesehatan masyarakat lainnya. Dari berbagai solusi tersebut. Fortifikasi pangan terbukti efektif serta cost effective dalam menurunkan kelaparan tersembunyi. Dalam Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024, telah diatur program prioritas untuk mengatasi masalah gizi. Program fortifikasi pangan merupakan salah satu upaya yang diamanatkan sebagai solusi untuk mengatasi kelaparan tersembunyi selain penganekaragaman pangan, pengembangan pangan lokal, suplementasi, serta upaya-upaya pendidikan gizi pada masyarakat. Saat ini, upaya fortifikasi wajib dilaksanakan terhadap tiga bahan pangan esensial, yaitu garam, tepung terigu, dan minyak goreng sawit.
Meski kebijakan dan penyelenggaraan program fortifikasi pangan ini dilindungi oleh regulasi dan diterapkan secara nasional tapi masih terdapat serangkaian hambatan yang perlu diselesaikan untuk memastikan efektivitas program fortifikasi pangan di Indonesia. Penguatan program fortifikasi pangan memerlukan koordinasi dan kerja sama dari berbagai pihak, antara lain pemerintah pusat dan daerah, dan swasta.
Menyadari nilai strategis dari program intervensi pembangunan ini, KFI (Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia) menyusun “Strategi Komunikasi Nasional Fortifikasi Pangan untuk Advokasi dan Perubahan Perilaku” sebagai salah satu upaya dan dukungan untuk penguatan program fortifikasi pangan. Strategi komunikasi dan advokasi ini, disusun berdasarkan kerangka teori Socio- Ecological Model (SEM) yang sering digunakan dalam ilmu sosial dan kesehatan masyarakat untuk memahami analisis situasi dan pihak-pihak strategis yang berperan dalam isu-isu fortifikasi pangan. Dalam menyusun strategi komunikasi ini, dilakukan serangkaian pemetaan dokumen dan analisis pada dokumen desk review dan dilakukan konsultasi serta diskusi dalam rangkaian FGD kepada berbagai pemangku kepentingan. Diharapkan strategi yang disusun dapat meningkatkan pemahaman, komitmen penerimaan, dan pelaksanaan program fortifikasi dengan melibatkan partisipasi aktif pihak-pihak pendukung yang memengaruhi efektivitas pelaksanaan program serta menciptakan permintaan masyarakat. Informasi lebih lanjut mengenai dokumen ini dapat didapatkan dengan menghubungi kami melalui email kfi@kfindonesia.org
-Nur Rahmah Utami-