Fortifikasi Pangan, Strategi Efektif Wujudkan SDM Unggul dan Ketahanan Gizi Nasional

KOMPAS.com – Asupan gizi seimbang yang mencakup kebutuhan gizi makro dan mikro merupakan fondasi penting bagi terciptanya sumber daya manusia (SDM) unggul dan produktif. SDM yang sehat bukan hanya menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan, tetapi juga motor utama penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang menghadapi kekurangan gizi mikro, seperti defisiensi zat besi, yodium, dan vitamin A. Kekurangan zat gizi ini terbukti secara ilmiah berdampak langsung terhadap kesehatan dan produktivitas, mulai dari gangguan tumbuh kembang anak, penurunan prestasi belajar, serta rendahnya produktivitas kerja di usia dewasa. Kekurangan zat besi, misalnya, dapat menyebabkan anemia yang juga dapat menurunkan daya tahan tubuh dan konsentrasi. Sementara itu, kekurangan vitamin A dapat menimbulkan rabun senja, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, dan memperbesar risiko kematian pada anak. Adapun kekurangan yodium dapat membuat produksi hormon tiroid menurun sehingga menyebabkan metabolisme melambat.

Kemudian, kekurangan yodium juga dapat menyebabkan kretinisme dan gangguan perkembangan otak, risiko keguguran, gangguan pertumbuhan serta perkembangan yang mengakibatkan anak mengalami gangguan belajar dan penurunan IQ. Masalah gizi mikro sering kali tidak tampak di permukaan. Karena tidak menunjukkan gejala klibis yang jelas, kondisi tersebut disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger. Padahal, efeknya dapat berlangsung lama tanpa disadari dan memengaruhi terhadap kualitas kesehatan masyarakat secara luas. Data terbaru menunjukkan bahwa persoalan tersebut masih cukup serius. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat, angka anemia gizi besi cukup tinggi pada beberapa kelompok, yakni ibu hamil sebesar 27,7 persen, remaja usia 15–24 tahun sebesar 15,5 persen, dan populasi umum sebesar 16,2 persen. Sementara itu, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 melaporkan 19,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini berkaitan dengan berat badan lahir rendah (BBLR), rendahnya asupan gizi, dan penyakit infeksi berulang, yang umumnya dipengaruhi oleh kemiskinan serta rendahnya pengetahuan gizi masyarakat.

Fortifikasi pangan menjadi solusi

Di tengah tantangan tersebut, fortifikasi pangan hadir sebagai salah satu solusi yang dinilai paling efektif dan murah (cost-effective). Menurut tim analis Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), tanpa adanya intervensi fortifikasi, suplementasi, dan diversifikasi pangan untuk mewujudkan gizi seimbang, masalah kekurangan gizi mikro berpotensi menimbulkan dampak lintas generasi. Jika dibiarkan, kondisi itu bukan hanya melemahkan daya saing bangsa, melainkan juga memperbesar beban kesehatan masyarakat. “Fortifikasi pangan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitasnya dengan tujuan untuk perbaikan gizi masyarakat. Ini dikenal sebagai program paling efektif secara biaya,” sebut salah satu anggota tim analis KFI dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (29/10/2025).

KFI mencatat Copenhagen Consensus yang mengungkapkan bahwa setiap 1 dollar Amerika Serikat (AS) diinvestasikan dalam fortifikasi pangan dapat menghasilkan manfaat ekonomi senilai 27 dollar AS (Garrett, G et. al. 2019). Angka ini menggambarkan bagaimana intervensi sederhana di sektor gizi dapat memberi imbal hasil besar bagi pembangunan manusia dan produktivitas ekonomi.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menerapkan, kebijakan fortifikasi pangan wajib untuk memperkuat asupan gizi mikro yang penting dalam membangun sumber daya manusia unggul. Program ini mencakup tiga produk utama, yaitu garam beryodium, tepung terigu yang difortifikasi dengan zat besi, seng, vitamin B1, B2, dan B9, serta minyak goreng sawit yang difortifikasi dengan vitamin A. Lebih lanjut, tim analis KFI menilai bahwa fortifikasi pangan bukan sekadar intervensi teknis di bidang gizi, melainkan strategi pembangunan manusia yang berkeadilan. Pendekatan ini menghubungkan upaya perbaikan gizi individu dengan peningkatan kesejahteraan secara merata. Pada tingkat mikro, fortifikasi membantu memperbaiki status gizi individu. Sementara, pada tingkat makro, ia berfungsi sebagai mekanisme redistribusi gizi yang menjembatani kesenjangan akses antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Melalui fortifikasi pangan pokok yang dikonsumsi secara luas, manfaatnya dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok miskin dan daerah tertinggal.

Apabila beras sebagai pangan pokok utama turut difortifikasi dan dimanfaatkan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan bantuan pangan, dampaknya dinilai akan menjangkau seluruh rumah tangga, terutama keluarga miskin, masyarakat di wilayah 3T, serta kelompok rawan gizi. Fortifikasi pangan juga memiliki efek domino pada ekonomi rakyat. Tim analis KFI juga menekankan bahwa fortifikasi pangan adalah instrumen nyata keadilan distributif sekaligus alat pemerataan ekonomi. Industri garam beryodium, misalnya, telah melibatkan banyak pelaku UMKM dalam proses produksi dan distribusinya, termasuk pemberdayaan industri kecil dan menengah (IKM) pangan serta koperasi lokal. Hal ini menjadi bukti bahwa fortifikasi tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga menghidupkan roda ekonomi di tingkat akar rumput.

Fortifikasi pangan berperan penting dalam membantu meningatkan kesehatan sekaligus menciptakan sumber daya manusia berkualitas.(Dok KFI)

Pentingnya sinergi lintas sektor

Pemerintah menempatkan fortifikasi dan biofortifikasi pangan sebagai bagian dari Prioritas Nasional 2, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025 sampai 2029.

Targetnya cukup ambisius, cakupan pangan fortifikasi dalam bantuan pangan mencapai 20 persen pada 2025 dan menjadi 100 persen pada 2029. Jumlah komoditas wajib fortifikasi juga akan diperluas dari tiga menjadi empat jenis pangan dengan menambahkan beras sebagai pangan pokok yang akan difortifikasi untuk target khusus. Untuk mencapai target tersebut, kerja lintas sektor menjadi kunci. Setiap kementerian dan lembaga memiliki peran spesifik dengan target yang terukur. Untuk Kementerian Kesehatan, lembaga ini memimpin perbaikan status gizi dan evaluasi efektivitas fortifikasi. Sementara, Kementerian Perindustrian memperkuat regulasi, penerapan SNI, dan pendampingan industri.

Kementerian Perdagangan memastikan distribusi pangan fortifikasi yang aman. Badan Pangan Nasional mengoordinasikan bantuan pangan. Kemudian, BPOM mengawasi keamanan dan mutu produk olahan di pasaran. Sedangkan Badan Gizi Nasional memastikan penggunaan bahan pangan yang difortifikasi wajib pada program MBG. Semua upaya ini terkoordinasi dalam Forum Koordinasi Fortifikasi Pangan Nasional yang menjadi jembatan komunikasi pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil demi keberlanjutan program. Meski arah kebijakan sudah jelas, tantangan utama terletak pada aspek pembiayaan. Dengan ruang fiskal yang terbatas, perlu dorongan inovasi pendanaan agar program berjalan efektif dan berkelanjutan. Skema seperti insentif fiskal, dana abadi atau trust fund, serta kemitraan publik, swasta, dan masyarakat menjadi alternatif yang menjanjikan. Pendekatan itu tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperluas partisipasi berbagai pihak dalam memperkuat ketahanan gizi nasional.

Pelaksanaan fortifikasi pangan menuntut kerja sama lintas pemangku kepentingan. Pemerintah menetapkan kebijakan dan regulasi, industri menjadi pelaku utama fortifikasi, sementara mitra pembangunan hadir sebagai partner dalam berbagai aspek program, termasuk untuk mendukung dari sisi pengetahuan, riset, dan pembiayaan. Saat ini, Indonesia memiliki Forum Fortifikasi Pangan Berskala Besar yang dipimpin Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas. Forum ini melibatkan berbagai kementerian, lembaga serta mitra pembangunan, termasuk KFI, sebagai anggota. KFI sendiri berperan sebagai penghubung pengetahuan, riset, dan advokasi kebijakan bagi pemerintah, konsumen, dan mitra pembangunan. Melalui kemitraan dengan pemerintah dan industri, KFI berupaya memastikan setiap kebijakan fortifikasi berbasis bukti ilmiah serta mengedepankan prinsip keberlanjutan agar manfaatnya tidak berhenti di generasi kini, tetapi terus dapat dirasakan oleh generasi mendatang.

Sumber: https://lestari.kompas.com/read/2025/11/01/163941486/fortifikasi-pangan-strategi-efektif-wujudkan-sdm-unggul-dan-ketahanan-gizi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

EN