Zat Gizi Mikro Faktor Gizi Utama Stunting dan Peran Fortifikasi Pangan Dalam SDGs

KFI NewsLetter Desember – Volume 14 – Section 1

Dari Redaksi: FORTIFIKASI PANGAN DI INDONESIA KURANG PERHATIAN ?
Ref.:

  1. Soekirman  and Idrus  Jusat,2017,  FoodFortificationin Indonesia-Invited Review, Malaysian J.of Nutr. Vol 23,No.1;
  2. HelenaPachon,2015,HistoryofFoodFortification,SlidePresentation FFI

Hukum ekonomi mengajarkan bahwa ada perbedaan menyolok pada kandungan zat gizi makanan sehari-hari keluarga miskin dan keluarga kaya. Makin miskin makin besar proporsi karbohidrat sebagai sumber kalori dan makin kecil proporsi protein dan sangat kecil proporsi zat gizi mikro dalam makanan keluarga. Hukum ekonomi inilah yang mendorong para pakar gizi di Swedia dan Amerika pada tahun 1920an menemukan teknologi fortifikasi pangan terutama untuk menolong keluarga miskin memenuhi kebutuhannya akan vitamin dan mineral tertentu.

Zat gizi mikro adalah nama lain dari vitamin dan mineral. Untuk Asia termasuk Indonesia, vitamin yang kurang bahkan mungkin tidak ada sama sekali dalam makanan sehari-hari anak balita adalah vitamin A dan asam folat pada makanan ibu hamil.. Sedang mineral yang kurang adalah zat iodium (I), zat besi (Fe), dan zat seng (Zn) . Ibu hamil dan anak balita yang kekurangan berbagai zat gizi mikro , sangat rentan terhadap gangguan penyakit dan kematian anak balita. Pada ibu hamil menyebabkankekurangandarah(Anemi), komplikasikehamilan termasuk perdarahan, dan bayi lahir cacad karena kurang asam folat, serta   berat badan rendah atau BBLR, kurang dari 2500 gram. Apabila kekurangan zat gizi mikro ini berlanjut sampai anak usia 2 tahun, akan terjadi gangguan pertumbuhan dan anak menjadi stunting.

Ilmu gizi mengajarkan orang atau anak yang kekurangan gizi harus diberikan  makanan  lengkap,  yang dulu harus memenuhi pedoman 4 Sehat 5 Sempurna, sekarang memenuhi pedoman Gizi Seimbang. Para ahli gizi kurang paham bahwa tidak semua keluarga mampu menghidangkan makanan bergizi seimbang. Meskipun mereka diberikan penyuluhan dan pendidikan tentang gizi seimbang, tetapi apabila pendapatan keluarga terbatas, maka prioritas adalah makanan pokok yang mengenyangkan perut. Sayur, buah dan lauk pauk sumber protein , vitamin dan mineral , bagi keluarga miskin adalah makanan “mewah“. Karena itu berbagai bentuk kekurangan gizi termasuk gizi buruk dan stunting sebagian besar dijumpai pada keluarga atau masyarakat miskin. Tidak dipungkiri ada juga pada keluarga kaya, namun jumlahnya relatif jauh lebih kecil. Para ekonom Bank Dunia termasuk Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan , pernah mengatakan bahwa “Stunting the face of poverty“. Teknologi fortifikasi terbukti sejak ditemukannya tahun 1920, menyelematkan banyak kelurga miskin dari kekurangan gizi termasuk mencegah BBLR dan Stunting. Karena itu fortifikasi pangan diakui oleh berbagai pakar dan lembaga dunia  sebagai  bagian  penting  dari  SDGs untuk menurunkan angka Stunting. News Letter  KFI  nomor ini dimaksudkan untuk mengingatkan pendapat dunia tentang fortifikasi pangan sebagai bagian pencapaian sasaran SDGs. Berikut saya sajikan beberapa pernyataan Bank Dunia dan beberapa lembaga dunia lainnya tentang pentingnya fortifikasi pangan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ID