Estimated reading time: 4 menit
FGD Penguatan Peran Pemangku Kepentingan Sektor Swasta dalam Pelaksanaan Fortifikasi Pangan Wajib di Indonesia yang dilakukan pada tanggal 13-14 November 2023 di Harris Hotel Tebet, menyoroti peranan dan persepsi industri garam serta hal yang diharapkan dari industri kepada pemerintah. Fortifikasi garam dalam perjalanannya banyak menemui hambatan, termasuk pencabutan Permendagri 63/2010 melalui Permendagri 6/2018. Dalam rangka penguatan program iodisasi garam, ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan.
Pak Budi Satriyono perwakilan dari APROGAKOB mengatakan adanya produsen garam IKM yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak terkoordinasi perlu mendapat perhatian lebih. IKM atau petani garam memiliki kontribusi yang cukup besar dalam supply garam nasional. Berdasarkan kajian GAIN (2021), dalam periode 2011-2020, kontribusi PT Garam terhadap pasokan garam secara keseluruhan adalah yang terendah, sementara peran garam impor meningkat dan produksi oleh petani berfluktuasi. Oleh karena itu, pemenuhan ketentuan SNI pada garam IKM perlu menjadi perhatian dalam rangka penguatan program iodisasi garam. Kualitas garam mentah yang diproduksi oleh petani umumnya diakui berada di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI), dengan kadar NaCl sekitar 80-85% dan kontaminan yang tinggi.
Pak Rozy Jafar dari Nutrition International menambahkan bahwa terdapat unsur politisasi, terlihat keengganan produsen untuk memperpanjang izin karena pemberian sanksi yang sama antara produk yang tidak ber-SNI maupun yang sudah ber-SNI namun tidak memperpanjang izinnya. Selain keenganan produsen untuk memperpanjang izin, isu mahalnya biaya untuk memperoleh SNI juga menjadi kendala bagi produsen skala kecil. GAIN Indonesia dalam kajiannya menyebutkan bahwa menurut seorang informan yang merupakan produsen garam skala kecil, biaya untuk mendapatkan sertifikat SNI adalah Rp16 juta hingga Rp 19 juta (termasuk Rp4 juta untuk konsultan), dan prosesnya memakan waktu sekitar tiga bulan. Durasi sertifikat SNI adalah selama lima tahun, tetapi ada pengawasan tahunan oleh LSPro. Produsen skala kecil lainnya menyebutkan bahwa biaya untuk mendapatkan sertifikat SNI adalah Rp 12 juta dan biaya pengawasan tahunan sekitar Rp 6 juta. Biaya tahunan tersebut dianggap mahal oleh produsen skala kecil (GAIN 2021).
Perwakilan dari UNICEF, Bu Dewi Fatmaningsih menekankan perlunya pembahasan bersama antara para pemangku kepentingan siapa yang memiliki wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelaku usaha garam yang tidak memenuhi ketentuan. Hal ini sejalan dengan kajian GAIN (2021) yang menemukan bahwa di Indonesia, terdapat kegiatan pemantauan di tingkat produksi, pasar (pra dan pasca pasar), dan rumah tangga, tetapi tidak ada tindak lanjut tindakan perbaikan yang dilakukan setelah penilaian. Sistem pemantauan juga harus mencakup analisis dan penyebaran data yang cepat untuk menginformasikan kepada pihak berwenang tentang tindakan perbaikan yang diperlukan. Tidak adanya tindakan korektif setelah pengawasan ini tentu dapat melemahkan program iodisasi garam. Oleh karenanya, pemberian sanksi dan petugas yang berwenang memberi sanksi perlu dilakukan.
Dalam rangka penguatan program iodisasi garam, nampaknya kita perlu belajar dari kesuksesan China. Kunci keberhasilan China di samping karena garam dimonopoli pemerintah adalah dengan melakukan sosialisasi yang masif melalui berbagai saluran seperti iklan di bus umum dan di surat kabar (Goh 2002). Selain itu, pengujian jaminan kualitas internal dan eksternal yang ketat dilakukan di tingkat produksi dan grosir yang didukung oleh Sistem Pengawasan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di China (CSSIDD) (Chen et al. 2014). Tak hanya itu keseriusan Pemerintah China dalam mensukseskan program Iodisasi garam juga dapat kita lihat dengan dibentuknya satuan ‘Polisi Garam’ (The Salt Police) pada tahun 1994 yang beranggotakan 25,000 petugas untuk menegakan kebijakan monopoli garam serta menyita peredaran garam tidak beryodium yang dijual kepada orang miskin (Fackler 2002).
Terkait ketersediaan KIO3, Pak Budi Puspo Hudojo dari Kimia Farma (KF) mengatakan bahwa produksi KF hanya sekitar 20-25 ton/tahun. Namun demikian, KF terus berkomitmen untuk memenuhi permintaan dalam negeri untuk petani garam melakukan fortifikasi. Pak Ir. Adhi S Lukman perwakilan dari GAPMMI juga menekankan perlunya Permendagri diaktifkan kembali sebagai payung hukum bagi Pemda untuk mengaktifkan Tim GAKY. Pak Akim Dharmawan dari Direktorat KGM Bappenas, menambahkan kedepannya forum LSFF nanti yang akan menjadi wadah untuk membahas masalah, hambatan dan sinkronisasi program fortifikasi pangan (Rep: Rhm & Han; Ed: Elm & Roz).
Sumber Pustaka
KFI. 2019. Situation Analysis of Salt Sector in Indonesia. Jakarta : Indonesian Nutrition Foundation for Food Fortification (KFI).
KKP. 2019. Annual Report. Jakarta:DJPRL.
BPS. 2020. Impor Garam Menurut Negara Asal Utama, 2010-2019.
Kemenperin. 2021. Industri Garam Konsumsi dan Program Iodisasi Garam di Indonesia. Jakarta: Kementerian Perindustrian
GAIN. 2021. Review of Salt Iodization & Rice Fortification in Indonesia.
Goh CC. 2002. Combating iodine deficiency: lessons from China, Indonesia, and Madagascar. Food and Nutrition Bulletin. 23(3):280-291.
Chen Z, Hongmei S, Li M, Gu Y, Lu ZX, Suying C. 2014. China: Leading the way in sustained IDD elimination. IDD Newsletter. 42(2):1-5. Available at: nl_may14_web.indd (ign.org).
Fackler M. 2002 Nov 24. Chinese Provinces Police Salt of The Earth. Los Angeles Times. [diakses 2022 Agustus 27]. https://www.latimes.com/archives/la-xpm-2002-nov-24-adfg-salt24-story.html