PERAN FORUM KOORDINASI LINTAS PELAKU (PPP)

Estimated reading time: 8 menit

Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Ir. Adhi Lukman
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI)

Telah dirumuskan bahwa Pembangunan di Indonesia berpusat pada manusia untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan, memampukan manusia (human capabilities) untuk meningkatkan harkat dan martabat dengan memenuhi semua kebutuhan dasar, serta menggunakan pendekatan siklus hidup. Tiga pondasi Pembangunan yang telah ditetapkan yaitu penduduk tumbuh kembang, pengarusutamaan gender dan inklusi sosial, serta pendekatan siklus hidup. Dari pondasi tersebut secara rinci dijabarkan yaitu

  1. Layanan Dasar yang meliputi pelayanan kesehatan, jaminan gizi, pendidikan anak usia dini holistik integratif (PAUD-HI), pendidikan dasar dan pendidikan menengah, perlindungan sosial, serta perlindungan dari perlakuan salah;
  2. Modal Manusia terdiri dari pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan inovasi, pelatihan vokasi dan kewirausahaan, literasi dan kecakapan hidup, dan pembudayaan dan prestasi olahraga;
  3. Modal Sosial Budaya yaitu agama, kebudayaan, pendidikan karakter, pendidikan kewarganegaraan, serta keluarga dan pengasuhan. Kesemuanya ditujukan untuk membangun manusia seutuhnya sejahtera, adaptif, berakhlak mulia, berbudaya maju, unggul dan berdaya saing.

Kebijakan pembangunan telah menggariskan bahwa kesehatan untuk semua dimasa depan ditujukan untuk:

  1. semua penduduk yaitu setiap penduduk dapat hidup sehat, pada seluruh siklus kehidupan, di seluruh wilayah, seluruh kelompok masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan;
  2. semua layanan diberikan kepada setiap penduduk terjamin mendapatkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas;
  3. dilakukan oleh semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, dengan memperhatikan dinamika sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, perdagangan, industri pangan, dan lingkungan.

Dalam draft awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, kebijakan kesehatan dan gizi akan dilaksanakan searah

  1. Transformasi sosial meliputi
    • penanggulangan permasalahan gizi makro dan gizi mikro, percepatan penuntasan permasalahan stunting, dan kelebihan gizi melalui peningkatan pola konsumsi pangan yang beragam, pengayaan gizi dan jaminan gizi pada periode 1000 hari pertama kehidupan,
    • penguatan sistem pengawasan obat dan makanan dengan cakupan produk termasuk pengawasan siber dan farmakovigilans,
    • penguatan riset, data dan informasi dalam kebijakan berbasis bukti, dan penerapan teknologi dan inovasi bidang kesehatan;
  2. ketahanan sosial budaya dan ekologi yaitu
    • pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi yang cukup, beragam, bergizi seimbang dan aman,
    • peningkatan asupan zat mikro yang penting untuk sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif melalui pengembangan biofortifikasi dan fortifikasi pangan skala luas (Large Scale Food Fortification/LSFF);
    • penjaminan akses dan keterjangkauan padang dan gizi terutama pada anak dalam periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK).

Strategi penanganan permasalahan zat gizi mikro yaitu:

  1. penelitian terkait besaran masalah gizi, pola konsumsi pangan, studi efikasi, studi efektifitas program, cost benefit analysis (CBA), cost effectiveness analysis (CEA), dan evaluasi dampak,
  2. pengaruh tambahan dari pola konsumsi, suplementasi dan fortifikasi;
  3. kapasitas pelaksanaan tingkat pusat dan daerah terkait perencanaan, pembiayaan, dan pemantauan serta evaluasi program, delivery dan compliance sasaran;
  4. Faktor penentu sosial dan komersial terdiri dari tren industri pangan dan suplemen, dan komunikasi perubahan perilaku (penerimaan dan literasi kesehatan).

Dalam upaya penguatan fortifikasi pangan perlu diperhatikan dampak pada kesehatan dan gizi terkait efikasi (mean of verification), efektifitas (kepatuhan=compliance), komplementer dengan intervensi lain. Hal tersebut tidak terlepas dari:

  1. dukungan analisis:
    • identifikasi jenis defisiensi dan kelompok sasaran,
    • model intervensi terkait dengan pasar (market), bantuan sosial dan reformulasi produk;
  2. variabel aksesibilitas dalam arti ketersediaan dan keterjangkauan;
  3. proses yang perlu diperhatikan yaitu teknologi pencampuran, fortifikan, organoleptik dan penerimaan produk, kepatuhan (dari penyedia dan sasaran), dampak;
  4. pemantauan dan evaluasi pada setiap tahap dari input sampai output. Ini semua diperlukan untuk mengembangkan opsi kebijakan yang terbaik serta koordinasi antar stakeholders.

Program fortifikasi pangan selalu menghadapi berbagai tantangan yang perlu dicari jalan keluarnya agar program ini berhasil meningkatkan status gizi mikro seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat tidak mampu. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam program fortifikasi beras, antara lain

  1. biaya fortifikasi yang relatif mahal, diperlukan biaya sebesar Rp1000-1500 per kg,
  2. industri ’rice fortified kernel’ lokal belum berkembang,
  3. sebagian besar industri penggilingan padi berkapasitas kecil dan memberikan kendala dalam penjaminan mutu.

Program fortifikasi garam menghadapi permasalahan yaitu

  1. kualitas garam rakyat belum memenuhi syarat SNI,
  2. kualitas produksi garam beryodium masih bervariasi (terutama kadar dan homogenitas),
  3. keberlanjutan ketersediaan KIO3 masih menjadi pertanyaan besar,
  4. pengawasan peredaran dan kualitas belum berjalan efektif,
  5. hasil Riskesdas 2013 menunjukkan sekitar 77% rumah-tangga mengonsumsi garam beryodium yang memenuhi standar (>30 ppm).

Pelaksanaan program fortifikasi minyak goreng sawit (MGS) masih belum berjalan sesuai harapan karena

  1. fortifikasi MGS dengan vitamin A hanya berlaku untuk kemasan, sedangkan sebagian besar konsumen (70%) mengonsumsi MGS curah yang tidak terfortifikasi, karenanya diperlukan berbagai upaya percepatan konversi minyak goreng curah menjadi minyak goreng kemasan,
  2. masih adanya beberapa industri MGS belum dapat menerima minyak goreng fortifikasi.

Sampai saat ini program fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dan asam folat berjalan dengan baik karena pelaku industri terbatas, namun beberapa hal perlu mendapat perhatian untuk keberlanjutan program antara lain

  1. bahan baku masih 100% impor,
  2. fortifikasi sering dianggap penghambat perdagangan,
  3. penggantian zat besi yang digunakan dalam program fortifikasi masih memerlukan bukti ilmiah di Indonesia.

Dalam upaya memungkinkan keberhasilan program fortifikasi perlu diperhatikan beberapa cross cutting issues sebagai berikut:

  1. aspek regulasi, kebijakan dan kelembagaan memerlukan percepatan pembentukan kelompok kerja atau kelembagaan seperti LSFF (Large-Scale Food Fortification) untuk mengkoordinasikan fortifikasi pangan dibuat di pusat dan disusul di tingkat daerah,
  2. aspek riset dan standardisasi untuk memajukan kemandirian produksi fortifikan dan membangun kemampuan produksi fortifikan dalam negeri,
  3. aspek pengawasan termasuk
    • penyusunan mekanisme audit bersama untuk sinergitas pengawasan dan pembinaan fortifikasi pangan,
    • penyampaian temuan audit bersama untuk sinergitas,
    • penguatan uji profisiensi terhadap laboratorium pengujian,
    • penyusunan rencana uji kolaborasi antar laboratorium pemerintah.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17/2015 tentang ketahanan pangan dan gizi, pangan terfortifikasi dapat diedarkan setelah melalui kajian sebagai berikut:

  1. efektivitas dalam pencegahan & penanggulangan masalah gizi masyarakat,
  2. ketersediaan teknologi pengayaan;
  3. jaminan & pengawasan mutu dan keamanan pangan,
  4. kelayakan memenuhi kaidah halal bagi pangan yang dipersyaratkan,
  5. dampak kenaikan biaya bagi konsumen & industri.

Karenanya diperlukan keterlibatan berbagai Kementerian dan Lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Kementerian kesehatan yang menetapkan standar gizi fortifikasi, KIE dan dukungan regulasi; Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertugas dalam penegakan regulasi, pengawasan pangan difortifikasi yang akan diproduksi dan telah beredar; Kementerian Perindustrian menetapkan regulasi bagi para industri dan pelaku usaha produk pangan yang akan difortifikasi; Badan Ketahanan Pangan dan Badan Standardisasi Nasional akan banyak terlibat dalam penelitian dan regulasi perumusan standar serta mekanisme penerapannya; Kementerian perdagangan berfungsi dalam pengawasan pangan fortifikasi yang beredar; Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan dukungan pengawasan fortifikasi pada petani garam sebagai hasil laut; Kementerian Dalam Negeri akan mendukung pemerintah daerah dalam implementasi SNI dan regulasinya; Badan Riset dan Inovasi Nasional bersama Mitra pembangunan membantu dalam penelitian dan kontrol sosial.

Kelembagaan atau forum fortifikasi sangat diperlukan dalam pengembangan LSFF terutama untuk:

  1. penguatan koordinasi untuk memperkuat efektivitas pelaksanaan program dan perbaikan kebijakan;
  2. penguatan studi-studi fortifikasi dan pemanfaatannya oleh industri,
  3. identifikasi opsi kebijakan dan penguatan komitmen dalam pelaksanaan regulasi,
  4. penyusunan ’roadmap’ pengembangan LSFF,
  5. penguatan standardisasi,
  6. penerjemahan dalam implementasi program di berbagai jenjang pemerintahan dan masyarakat,
  7. penguatan monitoring dan evaluasi.

Agar kegiatan pelaksanaan efektifitas dan menpai tujuan, forum fortifikasi perlu melibatkan berbagai unsur, antara lain

  1. penentu kebijakan nasional,
  2. pemilik koordinasi yang baik dalam pelaksana fortifikasi,
  3. pelaksana teknis untuk pengembangan fortifikasi pangan,
  4. terlibat dalam proses perencanaan, implementasi, dan pemantauan evaluasi,
  5. pakar yang menguasai substansi,
  6. peneliti yang mampu melakukan studi dampak fortifikasi terhadap kesehatan dan gizi.

Dengan sudah terlaksananya program fortifikasi dan berdampak perbaikan kesehatan dan gizi, dalam waktu dekat perlu dilakukan pembentukan forum fortifikasi yang melibatkan multisektor pemerintah dan non pemerintah yang terstruktur, mempunyai rencana kerja rinci, dan produk yang harus dihasilkan untuk setiap tahap kegiatan.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang merupakan potensial pasar yang relatif besar dengan laju inflasi 5,51% dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) sebesar 5,31%. Pengeluaran pangan penduduk Indonesia sekitar 50,14% (2022) dengan pertumbuhan konsumsi 5%. Industri pangan memainkan peran penting dalam ketersediaan dan ketahanan pangan sekaligus dalam pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, bangsa ini dihadapkan pada masalah gizi kurang, gizi lebih, dan kelaparan tersembunyi (hidden hunger) yaitu kekurangan gizi mikro. Diketahui bahwa 3 masalah kurang gizi mikro yaitu kurang yodium, zat besi dan vitamin A. Upaya yang telah dilaksanakan antara lain suplementasi dan fortifikasi. Pengalaman program fortifikasi garam yodium menunjukkan bahwa cakupan hanya mencapai 62,3% di tahun 2007 dan 77,15% di tahun 2013 yang masih dibawah target cakupan 90%.

Sebelum kemerdekaan program iodisasi garam tidak menghadapi masalah berarti karena pelaksanaannya di monopoli pemerintah. Namun pada tahun 1957, monopoli garam dihapus yang menyebabkan garam konsumsi yang beredar di pasar tidak terkontrol kualitasnya demikian juga kandungan yodium. Pada tahun 1974, terbit Inpres 14 menginstruksikan 10 Menteri untuk ’menyelenggarakan usaha perbaikan menu makanan rakyat secara nasional dan menyeluruh, baik di dalam tugasnya masing-masing maupun dalam kerjasama antar Departemen/Instansi pemerintah’. Sebagai tindak lanjut, terbit Permenkes 110/Menkes/XI/1975 yang berisikan garam beryodium untuk konsumsi masyarakat adalah garam yang mengandung Kalium Iodat 40 ppm dengan toleransi 25% dalam kemasan kedap air dan mutu yang memenuhi persyaratan.

Pada tahun 2018, Menteri Dalam Negeri mencabut sebanyak 50 Permendagri termasuk Permendagri nomor 63 tahun 2010 yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah terkait iodisasi garam. Selanjutnya pada tahun 2016 telah terbit SNI 3556 tentang garam konsumsi beryodium.

Upaya global eliminasi GAKY melalui Universal Salt Iodization (USI) dengan melakukan fortifikasi iodium pada garam konsumsi, pada tahun 2007 WHO dan UNICEF merekomendasikan 10 langkah sebagai berikut:

  1. pengembangan kelembagaan ditandai dengan adanya gugus tugas GAKY,
  2. adanya komitmen politik tentang USI,
  3. adanya organisasi pelaksana yang kuat di setiap tingkatan,
  4. legislasi dan regulasi tentang USI di semua tingkatan,
  5. monitoring dan evaluasi, dengan adanya data yang akurat,
  6. KIE dan mobilisasi sosial untuk mengkonsumsi garam beryodium,
  7. adanya data garam beryodium secara reguler pada tingkat produsen, pasar dan konsumen,
  8. adanya data EYU (Ekskresi Yodium dalam Urin) anak sekolah secara reguler pada daerah endemik berat,
  9. adanya kerjasama dengan produsen garam untuk pengawasan mutu garam beryodium,
  10. adanya data hasil monitoring dan penyebarluasannya termasuk data garam dan EYU.

Terkait:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ID