Bayu Krisnamurthi : Gizi Pembangunan

KFI NewsLetter Desember – Volume 13 – Section 4
Kompas, Rabu, 5 Oktober 2016


Gizi Pembangunan

Gizi Pembangunan. Itulah judul buku yang diluncurkan beberapa hari lalu di Jakarta, berisi kumpulan tulisan Soekirman, guru besar emeritus IPB, seorang pejuang gizi yang telah berkiprah lebih dari 50 tahun.

Gizi Pembangunan merupakan sebuah penegasan bahwa gizi yang baik dan cukup merupakan prasyarat kemajuan bangsa. Membahas kembali pengaruh status gizi masyarakat bagi pembangunan saat ini menjadi relevan paling tidak karena dua alasan.

Pertama, Indeks Daya Saing Global Indonesia turun dari peringkat ke-34 (2014/2015) ke peringkat ke-37 (2015/2016). Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang mengeluarkan indeks itu menyatakan bahwa ada dua faktor kunci yang terkait satu sama lain sebagai penentu daya saing negara: kemampuan, untuk semakin masuk ke revolusi industri yang keempat (industri berbasis konvergensi teknologi otomasi robotik dan kecerdasan artifisial) serta kemampuan mengembangkan, menarik, dan mendukung manusia bersumber daya dan para talenta istimewa. Turunnya indeks daya saing itu sejalan dengan posisi Indonesia dalam peringkat kesiapan teknologi yang turun enam peringkat menjadi peringkat ke-91. 

Harus dikatakan bahwa sebenarnya pembangunan pendidikan dan kesehatan Indonesia mengalami kemajuan yang tidak kecil. Namun, negara lain tampaknya maju lebih pesat. Di sinilah aspek gizi masyarakat — khususnya kondisi gizi anak-anak, remaja, dan pemuda — pegang peran. Tanpa kondisi gizi yang baik, maka intervensi seperti pelatihan atau pendidikan akan sangat sulit dikonversi menjadi produktivitas dan karya-karya berkualitas. 

Relevansi kedua dari gizi pembangunan adalah Impian Indonesia 2015-2085 yang dinyatakan Presiden Joko Widodo di Merauke, 30 Desember 2015. Dari tujuh butir impian yang dirumuskan Presiden Joko Widodo, butir yang pertama adalah sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia“. Berbagai kajian menunjukkan bahwa gizi memiliki pengaruh sangat besar pada kecerdasan manusia. 

Kekurangan gizi pada anak-anak bahkan dapat menyebabkan rendahnya tingkat kecerdasan dan berbagai indikator kualitas hidup lain yang tidak dapat diperbaiki lagi pada saat remaja atau dewasa. Dengan demikian, peningkatan status gizi masyarakat Indonesia saat ini kiranya menjadi salah satu prasyarat penting tercapainya impian tahun 2085 itu. Kedua alasan itu semakin melengkapi banyaknya argumentasi yang didukung banyak penelitian dan data obyektif bahwa gizi berhubungan sebab-akibat dengan produktivitas, kemiskinan, bahkan krisis ekonomi. 

Relevansi kedua dari gizi pembangunan adalah Impian Indonesia 2015-2085 yang dinyatakan Presiden Joko Widodo di Merauke, 30 Desember 2015. Dari tujuh butir impian yang dirumuskan Presiden Joko Widodo, butir yang pertama adalah sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya menungguli bangsa-bangsa lain di dunia“. Berbagai kajian menunjukkan bahwa gizi memiliki pengaruh sangat besar pada kecerdasan manusia. Kekurangan gizi pada anak-anak bahkan dapat menyebabkan rendahnya tingkat kecerdasan dan berbagai indikator kualitas hidup lain yang tidak dapat diperbaiki lagi pada saat remaja atau dewasa. Dengan demikian, peningkatan status gizi masyarakat Indonesia saat ini kiranya menjadi salah satu prasyarat penting tercapainya impian tahun 2085 itu.

Kedua alasan itu semakin melengkapi banyaknya argumentasi yang didukung banyak penelitian dan data obyektif bahwa gizi berhubungan sebab-akibat dengan produktivitas, kemiskinan, bahkan krisis ekonomi. 

Masalah gizi Indonesia

Masalah gizi serius yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah gizi ganda: di satu sisi masih cukup besar anggota masyarakat yang mengalami masalah kekurangan gizi atau gizi buruk, tetapi di sisi lain juga cukup banyak anggota masyarakat yang “kebanyakan gizi“ atau kelebihan berat badan dan obesitas. Soekirman telah menyatakan hal itu sejak 1991 dan terbukti mulai timbul sejak tahun 2000-an. Kedua masalah itu membuat penderitanya rata-rata membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi, berhubungan dengan daya saing dan pendapatan dalam pekerjaan yang lebih rendah, serta berbagai masalah sosial ekonomi lain. 

Di samping masalah gizi ganda, terdapat masalah kekurangan gizi mikro. Indonesia dinilai berhasil keluar dari masalah kekurangan yodium dan zat besi. Ini terutama karena keberhasilan program fortifikasi garam dengan yodium dan terigu dengan zat besi. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan defisiensi vitamin A yang dampaknya bukan hanya pada kesehatan mata, melainkan juga berhubungan dengan kecerdasan dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Kekurangan vitamin A pada anak akan berdampak permanen pada kehidupan anak itu selamanya. 

Strategi Pembangunan Gizi

Pertama, perlu disadari bahwa asupan gizi yang paling utama datang dari pangan dan pola makan. Karena itu, strategi yang tepat adalah membangun ketahanan pangan dan gizi. Pangan tak hanya gilihat dari sisi kualitas, yaitu gizi yang baik dan cukup. Kedua, kecukupan gizi dan asupan gizi yang baik akan diperoleh dari pengetahuan yang benar tentang gizi, terutama di kalangan para ibu. Peningkatan pengetahuan gizi melalui sosialisasi dan edukasi gizi yang sistematis bagi masyarakat sejak usia dini menjadi bagian penting dalam pembangunan gizi masyarakat. Ketiga, konsep dasar gizi yang baik dan cukup telah diperkenalkan lama, termasuk oleh Soekirman, yaitu konsep gizi seimbang. Konsep ini mengoreksi dan mengembangkan kekurangtepatan konsep “Empat Sehat Lima Sempurna“ yang pernah populer. Konsep gizi seimbang harus jadi fondasi pembangunan gizi. Keempat, laksanakan fortifikasi dengan konsisten. Kita sudah berhasil dengan fortifikasi yodium pada garam dan zat besi pada terigu. Langkah selanjutnya fortifikasi vitamin A pada minyak goreng. Pengusaha minyak goreng sudah bersedia, bahkan lebih 50 persen sudah melakukan fortifikasi sukarela. Berbagai kajian telah menunjukkan penambahan biaya sangat minimal, berdaya guna, dan pro rakyat miskin. Tidak ada alasan ditunda. Kelima, berdayakan lembaga pemberdayaan masyarakat seperti posdaya, posyandu, atau berbagai bentuk lembaga lain di masyarakat sebagai bagian dari usaha peningkatan gizi masyarakat. Gunakan pendekatan baru dengan media sosial untuk melibatkan lebih banyak anggota masyarakat lagi dalam gerakan ini. Soekirman menyatakan “kekurangan gizi adalah bentuk kelaparan tidak kentara“. Sebuah peringatan dan pelajaran agar kita tak boleh membiarkan hal itu terjadi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ID