13 – 14 NOVEMBER 2023 | HARRIS HOTEL |
Estimated reading time: 6 menit
Fortifikasi pangan wajib merupakan salah satu upaya untuk mengatasi defisiensi zat gizi mikro yang sangat bermanfaat dan efektif. Namun, dalam perjalanannya banyak permasalahan yang terjadi seiring dengan perubahan dan ketidakkonsistenan kebijakan. Oleh karena itu, FGD ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan kendala yang dialami oleh sektor swasta dalam menjalankan program fortifikasi pangan, untuk mengetahui dukungan yang perlu diberikan oleh pemerintah, serta menjadi wadah untuk berkolaborasi antara pemerintah dan swasta.
FGD dilakukan selama dua hari yaitu 13-14 November 2023 di Harris Hotel Tebet, yang mencakupi empat sesi yaitu sesi beras, garam, minyak goreng, dan tepung terigu. Peserta dalam FGD ini adalah perwakilan dari Bappenas, KFI, Nutrition International, UNICEF, GAPMMI, PERPADI, Food Station, PT Thara Jaya Niaga Holding, AIMMI, PT Yorgo Anugrah Nusantara Medan, GAIN, APROGAKOB, Kimia Farma, dan APTINDO.
Dalam sambutan pembukaan, Direktur KFI, Dra. Nina Sardjunani MA, menyampaikan bahwa fortifikasi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro masyarakat. Minyak goreng, garam, dan tepung terigu adalah komoditi yang wajib difortifikasi. Saat ini fortifikasi beras masih dalam pengembangan dan belum bersifat wajib.Terkait fortifikasi minyak goreng sawit (MGS), permasalahan yang dihadapi adalah sebagian besar MGS diperdagangkan dalam bentuk curah dan tidak difortifikasi. Mengingat minyak curah dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah, KFI mengupayakan agar fortifikasi diterapkan pada minyak goreng sawit yang terkemas maupun curah. Ibu Nina juga menyampaikan pentingnya program fortifikasi garam yang berkaitan erat dengan kecerdasan anak menuju Indonesia Emas 2045. Fortifikasi tepung terigu, dalam perjalanannya sempat terjadi relaksasi penerapannya hingga diberlakukan kembali. Dinamika program fortifikasi pangan tersebut mendorong KFI untuk mendukung adanya forum public private partnership (PPP) sebagai wadah para pemangku kepentingan untuk secara teratur membahas, mengevaluasi, menemukenali permasalahan pelaksanaan fortifikasi pangan, serta alternatif upaya mengatasinya. Dengan adanya Forum Koordinasi LSFF, diharapkan berbagai isu dan permasalahan dapat dibahas dan dirumuskan upaya penyelesaiannya.
Sesi pertama FGD ini adalah fortifikasi beras yang masih dalam pengembangan. Dari diskusi tersirat bahwa fortifikasi beras mendapat dukungan berbagai pihak, meskipun sampai saat ini belum diwajibkan. Salah satu kendala dalam fortifikasi beras adalah biaya fortifikan
(kernel) yang masih mahal sekitar antara Rp500-Rp1.000/kg ditambah biaya mixing sebesar Rp400. Hal ini menyebabkan harga jual masih diatas HET dan belum terjangkau masyarakat berpendapatan rendah yang lebih membutuhkan. Selain itu, masih diperlukan studi efektivitas untuk mengetahui dampaknya terhadap masyarakat luas. Standar premix kernel saat ini sedang disusun oleh Kementerian Kesehatan. Edukasi kepada masyarakat juga sangat penting dilakukan sehingga nantinya dapat menerima beras fortifikasi dengan baik dan memanfaatkannya dengan tepat.
Fortifikasi minyak goreng dibahas pada sesi kedua FGD. Fortifikasi MDS telah dirintis sejak tahun 2008. SNI minyak goreng sawit mengalami perubahan dari SNI 7709:2012 menjadi SNI 7709:2019. Prof. Drajat Martianto, dalam pengantar diskusi menyatakan bahwa saat ini baru 30% minyak goreng yang beredar telah difortifikasi yaitu minyak goreng kemasan. Selebihnya adalah minyak goreng curah yang belum terfortifikasi. Perwakilan dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Pak Arief Wibisono mengungkapkan bahwa industri siap dan berkomitmen menjalankan fortifikasi minyak goreng. Biaya fortifikasi minyak goreng sawit bukan menjadi suatu masalah. Hal yang menjadi perhatian dari industri adalah perlunya harmonisasi antara Permendag, Permenperin, dan Peraturan BPOM supaya pengaturan fortifikasi minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah menjadi konsisten. Selain itu, Pak Arief juga mengatakan bahwa sejak ada kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), produsen diwajibkan untuk mengalokasikan 30% untuk Minyakita, sehingga produksi minyak goreng kemasan premium semakin sedikit. Perwakilan dari industri minyak goreng, Ibu Susan berpendapat bahwa sampai saat ini industri menunggu uji efektifitas dari fortifikasi MGS terhadap perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Perwakilan dari akademisi, Prof. Nuri Andarwulan juga menekankan perlunya sinkronisasi antara Kementerian dan Lembaga terkait untuk mengharmonisasi peraturan mengenai fortifikasi MGS. Selain itu, edukasi kepada masyarakat penjual maupun konsumen dalam penanganan minyak goreng sawit perlu ditingkatkan untuk mencegah penurunan kadar vitamin A akibat terkena cahaya matahari. Ekspektasi pihak industri terhadap pemerintah adalah koordinasi antar KL yang lebih baik dalam mengharmonisasi regulasi.
Sesi diskusi selanjutnya adalah Fortifikasi Garam. FGD ini lebih menyoroti peranan dan persepsi industri garam serta hal yang diharapkan dari industri kepada pemerintah. Fortifikasi garam dalam perjalanannya banyak menemui hambatan, termasuk pencabutan Permendagri 63/2010 melalui Permendagri 6/2018. Pak Budi Satriyono perwakilan dari APROGAKOB mengatakan adanya produsen garam IKM yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak terkoordinasi perlu mendapat perhatian lebih. Pak Rozy Jafar dari Nutrition International menambahkan bahwa terdapat unsur politisasi, terlihat keengganan produsen untuk memperpanjang izin karena pemberian sanksi yang sama antara produk yang tidak ber-SNI maupun yang sudah ber-SNI namun tidak memperpanjang izinnya. Perwakilan dari UNICEF, Bu Dewi Fatmaningsih menekankan perlunya pembahasan bersama antara para pemangku kepentingan siapa yang memiliki wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelaku usaha garam yang tidak memenuhi ketentuan. Terkait ketersediaan KIO3, Pak Budi Puspo Hudojo dari Kimia Farma (KF) mengatakan bahwa produksi KF hanya sekitar 20-25 ton/tahun. Namun demikian, KF terus berkomitmen untuk memenuhi permintaan dalam negeri untuk petani garam melakukan fortifikasi. Pak Ir. Adhi S Lukman perwakilan dari GAPMMI juga menekankan perlunya Permendagri diaktifkan kembali sebagai payung hukum bagi Pemda untuk mengaktifkan Tim GAKY. Pak Akim Dharmawan dari Direktorat KGM Bappenas, menambahkan kedepannya forum LSFF nanti yang akan menjadi wadah untuk membahas masalah, hambatan dan sinkronisasi program fortifikasi pangan.
Sesi diskusi terakhir adalah tepung terigu. Sesi ini dihadiri APTINDO dan perwakilan dari beberapa industri tepung terigu. Sampai saat ini, sudah hampir 100% industri tepung terigu melakukan fortifikasi dan memenuhi SNI. Pak Yosafat Siregar perwakilan APTINDO, menyatakan bahwa biaya fortifikasi tepung terigu mencapai 250 miliar/tahun, angka ini cukup besar sehingga perlu dilakukan studi efektivitas fortifikasi tepung terigu yang sudah berjalan, dan diharapkan Kementerian Kesehatan dapat mengkoordinir pelaksanaannya. Perwakilan dari UNICEF, Ibu Dewi Fatmaningrum menyampaikan bahwa kandungan fortifikan pada tepung terigu di Indonesia masih berada di bawah rekomendasi WHO. Selain itu, terdapat harapan besar dari industri terkait pengawasan yang terkoordinasi. APTINDO juga merasa saat ini banyak masyarakat yang anti gandum, untuk itu alternatif yang bisa dilakukan adalah mengembangkan tepung lokal dan hal ini membutuhkan dukungan pemerintah. Dengan adanya Forum Koordinasi LSFF, diharapkan berbagai isu dan permasalahan dapat dibahas dan dirumuskan upaya penyelesaiannya (Rep: Rhm & Han, Ed: Roz & Elm)
Terkait: