Estimated reading time: 5 menit
Ir. Budianto Wijaya Dipresentasikan oleh Ir. Yosafat Siregar Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) Dr. Melania Gondomartojo World Food Programme (WFP)
Masalah Gizi di Indonesia
Indonesia saat ini sedang menghadapi permasalah ’triple burden malnutrition’ yaitu undernutrition, overnutrition, dan hidden hunger. Undernutrition bisa diterjemahkan antara lain stunting, overnutrition dalam bentuk kegemukan dan obese, sedang hidden hunger tampak dalam bentuk anemia, kurang vitamin A, dan kekurangan yodium. Data dari analisa situasi yang ada saat ini menunjukkan bahwa hampir 50% ibu hamil menderita anemia, sedangkan pada remaja besarannya sekitar 30-40% menderita anemia. Besaran masalah ’hidden hunger’ cukup bervariasi antar daerah mengingat luasnya daerah dan jumlah penduduk yang juga beragam.
Perkembangan Konsumsi Terigu
Konsumsi tepung terigu dari tahun 2021 sampai Mei 2023 terlihat mengalami penurunan. Konsumsi tepung terigu nasional hanya 6,9 juta metrik ton atau setara gandum 8,9 juta metrik ton di 2021. Kemudian, terjadi penurunan di tahun 2023, dengan jumlah konsumsi tepung terigu sebanyak 2,7 metrik ton. Jika terdapat informasi seperti data yang didapat dari BPS terkait impor gandum bisa mencapai 11 juta metrik ton, stok tepung terigu 500 lebih sedikit, karena jumlah tersebut juga dialokasikan ke hal lain seperti pakan ternak.
Rata-rata konsumsi tepung terigu di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahun. Namun, pada tahun 2022 sedikit mengalami penurunan akibat Pandemi COVID. Data di tahun 2022 menunjukkan konsumsi tepung terigu nasional mencapai 6,7 juta MT. Premiks fortifikan yang dibutuhkan untuk 230 ppm adalah sekitar 1500 metrik ton atau sekitar 200 milyar rupiah. Tepung terigu menggerakan industri pangan berbahan tepung terigu, seperti biskuit dan lain-lain, yang sekarang sangat banyak digerakan oleh para UMKM. Tepung terigu juga sebagai lokomotif komoditas pangan lokal lainnya. Seperti yang kita ketahui, tepung terigu juga diolah menjadi berbagai produk olahan tepung terigu dimana dalam proses pembuatannya perlu menggunakan bahan-bahan lain seperti mentega, telur, minyak sawit, gula dan lain-lain. Selanjutnya, pengembangan tepung komposit dengan menggunakan tepung lokal sangat potensial di masa yang akan datang, karena aplikasi tepung terigu menjadi produk akhir sudah semakin beragam.
Pabrik Tepung Terigu
Pabrik tepung terigu di Indonesia teralokasi di Sumatera Utara, Dumai, Cilegon, Jawa Barat, Jakarta, dan di Jawa Timur. Update terbaru menyatakan bahwa kapasitas giling dan gulung sekitar 14 juta metrik ton (MT) per tahun. Konsumsi tepung terigu seperti ini sebagian besar atau sekitar 68% atau 70% adalah UMKM. APTINDO saat ini sedang intens membina UMKM agar dapat tumbuh terus menerus dengan baik. Pengelompokkan pabrik tepung terigu tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Seperti, PT. Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai pabrik tepung terigu terbesar memiliki 4 pabrik, yaitu di Jakarta, Surabaya, Tangerang dan Cibitung. Disusul dengan PT. Bungasari Flour Mills yang memiliki 3 pabrik yaitu di Cilegon, Medan, dan Makassar. Dan beberapa industri kecil pabrik tepung terigu yang tersebar di beberapa wilayah. Jumlah total pabrik dan Kap. Giling gandum adalah sebesar 14 juta MT/tahun.
Pada tahun 2023, APTINDO mengembangkan beberapa tepung lokal dan sempat dijual di pasar seperti, tepung ubi jalar, dimana nilai gizinya sangat bagus. APTINDO juga bekerjasama dengan IPB dan petani. Namun, terdapat kendala yang dihadapi dimana tepung kadarnya cukup tinggi 60% sehingga harus disilangkan menjadi 40% yang membuat harganya menjadi sangat mahal.
Impor Fortifikan
Data impor fortifikan Indonesia tahun 2020–2022 yang didapat dari BPS menunjukkan importasi premiks fortifikan yang masuk ke Indonesia terbesar adalah sebanyak 70% yang didapat dari Malaysia. India dan China juga merupakan negara pemasok premiks fortifikan di Indonesia. Data pada tahun 2022 menunjukkan sebanyak 15,6 juta USD atau sekitar 225 Miliar Rupiah yang dipasok dari DSM, Muhlenchemie, dan Hexagon.
Ekspor tepung terigu
Data ekspor tepung terigu Indonesia rata-rata mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2021 ekspor tepung terigu sebanyak 1,19 milyar USD atau tumbuh 3,2%. Kemudian naik menjadi 1,48 miliar USD dimana tumbuh sebesar 23,9% pada tahun 2022. Pada Tahun 2023 ekspor terigu ada by product (dedak gandum) sebanyak 77,3 juta USD dimana tumbuh sebesar 39,2%. Adapun pada produk berbahan baku terigu sekitar 408,24 juta USD atau tumbuh 10,9%. Pada masa pandemi Covid, produk Indonesia sangat bersaing di luar negeri, sehingga harapannya kondisi ekonomi mulai membaik pada tahun 2023.
Perjalanan Panjang Fortifikasi Wajib Tepung terigu
Fortifikasi tepung terigu wajib telah melintasi jalan yang cukup panjang. Hal dimulai sejak tahun 1995, dimana pemerintah Asian Development Bank & UNICEF merintis proyek penanggulangan kekurangan gizi mikro melalui fortifikasi tepung terigu dengan zat besi (Fe), seng (Zn), asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2. Fortifikasi tepung terigu pertama kali diatur dalam dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 632 Tahun 1998 tentang fortifikasi tepung terigu dan berlaku secara nasional mulai tahun 2002 dengan disertai SNI wajib tepung terigu tanggal 2 Februari. Namun pada tahun 2008 pemerintah melalui Departemen Perindustrian melakukan relaksasi fortifikasi tepung terigu selama kurang lebih 6 bulan akibat krisis pangan dunia. Dan relaksasi kedua terjadi ketika Indonesia dilanda pandemi COVID-19 sampai akhir 2022, dimana Menteri Perindustrian RI mengeluarkan Surat Edaran No. 5 Tahun 2020 tentang Pengecualian Sementara Penambahan Zat Fortifikan pada Tepung Terigu. WHO pada tahun 2006 merekomendasikan senyawa besi dalam sulfat, fumarat dan EDTA sebagai fortifikan. Rekomendasi WHO tersebut mendapat banyak perhatian di antara pihak akademia agar dilakukan penggantian fortifikan dari besi elemental ke fortifikan yang lain. Pelaku industri memilih fumarat karena hasil uji cita rasa disukai konsumen dan harganya lebih murah. Pada tahun 2021 terdapat Revisi SNI Tepung Terigu SNI 3751: 2009 menjadi SNI 3751: 2018 (Penetapan melalui Permenperin No 1 Tahun 2021).
Investasi di bidang Industri tepung terigu senantiasa naik setiap tahun hingga saat ini, baik berupa penambahan kapasitas produksi maupun pendirian pabrik baru. Iklim usaha ini perlu dijaga agar senantiasa kondusif. APTINDO tetap berkomitmen untuk melaksanakan fortifikasi tepung terigu. Pengembangan tepung komposit dengan menggunakan tepung lokal sangat potensial di masa yang akan datang, karena aplikasi tepung menjadi produk akhir yang sangat beragam.
Upaya fortifikasi tepung terigu wajib memerlukan kerjasama antar pemerintah, pelaku industri, akademia, dan kelompok konsumen sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Kelompok akademia bisa melakukan penelitian yang memberikan bukti kemanfaatan fortifikasi. Untuk itu, perlu dilakukan kajian efektifitas yang tervalidasi secara akademik untuk memastikan zat gizi mikro dalam pangan terfortifikasi dapat diterima dan dikonsumsi oleh masyarakat. Di samping itu, menilai keberhasilan pelaksanaan program fortifikasi dan permasalahannya di lapangan, diperlukan kegiatan monitoring terintegrasi dan berkelanjutan, agar tercipta kepastian konsumen untuk mengonsumsi zat gizi mikro dari pangan terfortifikasi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Hasil-hasil monitoring yang dilaksanakan secara reguler berkelanjutan harus dilakukan pembahasan secara bersama pemerintah, pihak industri, akademia, dan kelompok konsumen dalam upaya meningkatkan keberhasilan program fortifikasi. Koordinasi dan integrasi dari pihak-pihak yang berkepentingan perlu dibentuk melalui suatu forum. Forum ini tentunya dibentuk berdasarkan kesepakatan antara Kementerian/Lembaga, industri, akademia, dan kelompok konsumen.
Terkait: