POTENSI PENGEMBANGAN FORTIFIKASI BERAS DI INDONESIA

Estimated reading time: 4 menit

Fortifikasi beras di Indonesia masih dalam tahap pengembangan. Dari FGD yang dilakukan dalam rangkaian kegiatan FGD Penguatan Peran Stakeholder Swasta dalam Penerapan Wajib Fortifikasi Pangan di Indonesia pada tanggal 13-14 November 2023 di Harris Hotel Tebet, tersirat bahwa fortifikasi beras mendapat dukungan dari berbagai pihak. pihak, meskipun hal ini belum bersifat wajib. Meskipun belum ada peraturan wajib yang mengharuskan industri melakukan fortifikasi beras, standar SNI fortifikasi beras atau aturan mengenai sistem keamanan mutu beras fortifikasi di Indonesia, inisiatif industri untuk fortifikasi beras secara komersial telah dilaksanakan dalam 2-3 tahun terakhir.

Pengembangan fortifikasi beras di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini didukung oleh payung hukum dan kebijakan pemerintah yang sudah ada (fortifikasi beras masuk dalam RPJMN 2020-2024), tersedianya program dukungan sosial beras, dan tersedianya teknologi produksi premix gabah. Posisi beras sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu potensi pengembangan fortifikasi beras di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2022), konsumsi beras masyarakat Indonesia semakin meningkat. Konsumsi beras rumah tangga berkisar antara 64 hingga 93 kg per kapita per tahun pada tahun 2021.

Tabel 1. Konsumsi beras dalam rumah menurut kelompok pengeluaran rumah tangga tahun 2021

Source: BPS (2022)

Dari sisi produksi, terdapat 169.789 usaha penggilingan padi yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia dengan rincian 95,06 persen merupakan penggilingan padi skala kecil, 7.332 usaha atau sekitar 4,32 persen, dan sebanyak 1.056 usaha atau 0,62 persen merupakan penggilingan padi skala besar. (BPS 2021).

Figure 1. Distribution of rice mills in Indonesia

Selain itu, dari hasil uji coba fortifikasi Raskin yang dilakukan di Kabupaten Karawang, SEAFAST Center melakukan uji penerimaan fortifikasi Raskin (Forti Rice) yang hasilnya secara umum dapat disimpulkan bahwa responden tidak dapat membedakan beras dengan beras yang difortifikasi dengan kernel beras yang sudah dicampur dengan DSM. (RFK) dari beras biasa yang tidak difortifikasi. Inilah salah satu alasan mengapa fortifikasi beras mungkin merupakan intervensi diam-diam dalam mengatasi permasalahan mikronutrien di Indonesia (BRIA 2016).

Selain faktor pendorong berkembangnya fortifikasi beras di Indonesia, terdapat pula berbagai hambatan. Salah satu kendala dalam fortifikasi beras adalah biaya fortificant (kernel) yang masih mahal berkisar Rp500-Rp1.000/kg ditambah biaya pencampuran yang mencapai Rp400. Akibatnya, harga jual masih berada di atas harga tertinggi dan belum terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah yang lebih membutuhkan. Kajian efektivitas juga diperlukan untuk mengetahui dampaknya terhadap masyarakat luas. Standar premix biji-bijian saat ini sedang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Penting juga untuk mengedukasi masyarakat agar menerima dan menggunakan beras yang difortifikasi dengan benar. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, studi analisis lanskap fortifikasi beras yang dilakukan oleh Nutrition International bekerja sama dengan technoserve pada tahun 2023, memetakan faktor-faktor penghambat keberhasilan fortifikasi beras di Indonesia sebagai berikut:

  1. Kurangnya insentif industri fortifikasi bagi industri yang mempunyai inisiatif memproduksi beras fortifikasi
  2. Ketidakstabilan harga yang memberatkan
  3. Biaya fortifikasi (dibandingkan dengan harga komoditas dan FRK) masih tinggi.
  4. Meskipun subsidi beras sosial tersedia, namun belum ada langkah konkrit untuk menerapkan fortifikasi subsidi beras sosial (target 100% pada tahun 2024). Kecil kemungkinan BPNT akan diterapkan sebagai sistem penyaluran beras bansos karena BNPT sudah tidak diterapkan lagi, dan jika diterapkan, kelompok sasaran bisa saja memilih beras yang tidak difortifikasi atau makanan lain sehingga membuat program fortifikasi beras menjadi tidak efektif.
  5. Permintaan beras dari program pemerintah dan pasar komersil tidak ada/belum terbentuk, sehingga industri enggan melakukan investasi jangka panjang. Belum ada program peningkatan kapasitas penjaminan mutu untuk menghasilkan produk terstandar yang memenuhi pangan

Meskipun terdapat berbagai faktor penghambat fortifikasi beras yang disebutkan di atas, namun pengembangan fortifikasi beras di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar, baik melalui program dukungan pemerintah maupun secara komersial (Rep: Roz&Elm).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ID