6 Desember 2023 | Hotel Avenzel
Estimated reading time: 4 menit
FGD dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2023, di Avenzel Hotel & Convention Cibubur, yang merupakan kelanjutan dari FGD sebelumnya pada tanggal 13-14 November 2023. Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan Kementerian/Lembaga terkait dan pelaku usaha, bertujuan untuk memperkuat koordinasi mengenai berbagai peraturan mengenai fortifikasi pangan wajib dan pelaksanaannya untuk kinerja program yang lebih efektif dan berkelanjutan.
FGD tersebut membahas tiga topik yaitu fortifikasi tepung terigu, garam, dan minyak goreng sawit (MGS). Pesertanya adalah perwakilan dari Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, BSN, KFI, Nutrition International, GAPMMI, AIMMI, PT Manunggal Perkasa, Bogasari, PT Interflour, dan Apical.
Prof Drajat Martianto, Co-Direktur KFI, membuka acara tersebut dan menyampaikan bahwa harga pangan bergizi seimbang bisa mencapai 5 kali lipat dari harga pangan pada umumnya. KFI percaya bahwa fortifikasi pangan merupakan cara termurah dan termudah untuk membantu masyarakat meningkatkan asupan gizi menuju konsumsi bergizi seimbang. Saat ini telah dibentuk Forum Koordinasi LSFF sebagai wadah bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berkomunikasi membahas pelaksanaan dan permasalahan yang kita hadapi serta mencari solusi bersama untuk mencapai kinerja program fortifikasi yang efektif dan dapat dipantau dan dievaluasi secara terukur.
Diskusi diawali dengan sesi fortifikasi tepung terigu dengan moderator Prof Razak Thaha. Ia menyayangkan belum adanya kajian efektivitas sebagai salah satu pedoman untuk meyakinkan industri tepung terigu bahwa program fortifikasi ini memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ibu Hera, dari Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan mempunyai kepentingan besar terhadap dampak fortifikasi ini. Kementerian Kesehatan sedang berupaya membuat standar terkait jumlah fortifikasi. Saat ini sedang dilakukan survei konsumsi zat gizi mikro untuk mengetahui kecukupan zat gizi mikro di masyarakat. Di bidang pengawasan, industri tepung terigu mengalami kendala. Seperti yang diungkapkan Ibu Herni dari PT Bogasari, pengujian perlu dilakukan di laboratorium yang terstandar, disertai keterbukaan pengawas terhadap industri. Peraturan bergiliran, sehingga industri sibuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Koordinasi yang erat antara pihak-pihak terkait diperlukan untuk memaksimalkan kinerja program fortifikasi.
Kemudian pada sesi fortifikasi garam, Bapak Raditya dari Direktorat Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian menyampaikan bahwa kebutuhan garam di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 4,9 juta ton. Kebutuhan untuk konsumsi hanya sekitar 700 ton, sisanya untuk industri. Tantangannya adalah menyeimbangkan harga antara garam lokal dan impor. Dalam mengelola kebutuhan garam beryodium, Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengadakan forum koordinasi terkait permasalahan garam. Terdapat 9 SNI garam (Standar Nasional Indonesia), yang terbaru adalah SNI 3556:2016 tentang wajib fortifikasi garam beryodium. Namun belum ada peraturan untuk menegakkan SNI terbaru ini. Perwakilan Badan Standardisasi Nasional (BSN), Ibu Latifa Dinar mengatakan, Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Yodium sudah lama direncanakan untuk direvisi sehingga memerlukan koordinasi antar banyak kementerian/lembaga terkait. Sulitnya mendapatkan SNI membuat perusahaan kecil hanya mengandalkan nomor izin edar dari pemerintah daerah. Perwakilan BPOM Ibu Sondang Widya Estikasari, S.Si, Apt, MKM menyatakan perlunya pendekatan yang berbeda untuk setiap jenis usaha garam termasuk pemahaman pemerintah daerah selaku penerbit izin. BPOM memberikan pendampingan, namun permasalahan yang ada perlu diselesaikan secara komprehensif sehingga diperlukan media/saluran yang memastikan kementerian dan lembaga dapat berkoordinasi dengan baik untuk penyelesaiannya.
Fortifikasi minyak goreng sawit (MGS) menjadi sesi penutup FGD hari ini. Masalahnya, sekitar 70% minyak yang beredar adalah dalam bentuk curah yang tidak termasuk dalam wajib fortifikasi. MGS curah ini dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah, sehingga fortifikasi belum efektif mencapai target. Perwakilan Asosiasi Industri Minyak Goreng Indonesia (AIMMI), Bapak Arief, menyarankan agar lebih efektif, penerapan wajib MGS harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari industri minyak goreng sawit di Pulau Jawa yang sudah siap. Namun sebelum itu perlu dilakukan evaluasi efektivitas SNI wajib MGS, apakah kadar fortificant 45 IU benar-benar mencukupi hingga sampai ke konsumen. Selama pemantauan yang beredar, seringkali terjadi kendala di industri dalam menentukan standar kadar vitamin A. Prof Drajat Martianto mengatakan, penetapan kadar 45 IU di pabrik tersebut didasarkan pada studi dampak yang menunjukkan efektivitas dalam meningkatkan kadar vitamin A serum pada responden. Mengenai kestabilan vitamin A, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penyimpanan minyak di tempat tertutup vitamin A stabil dalam waktu 9 bulan, setelah itu mulai mengalami penurunan. Sebaliknya, omzet penjualan/konsumsi MGS curah kurang dari satu bulan. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan perlunya informasi mengenai hasil pemantauan dan evaluasi. Fortifikasi merupakan instrumen yang harus mampu membuktikan manfaatnya bagi masyarakat. KFI saat ini sedang menyusun pedoman monev, untuk memastikan efektivitas fortifikasi MGS dapat diukur mulai dari tahap produksi, peredaran, hingga dampaknya terhadap konsumen.
Sebagai penutup, Bapak Adhi S Lukman menyampaikan bahwa FGD kali ini lebih mendalam mengenai pengaturan, pemantauan, pengawasan, dan sinkronisasi yang nantinya akan menjadi bahan pembahasan dalam forum KPBU. Beberapa poin penting dalam FGD ini adalah industri berkomitmen terhadap fortifikasi pangan, namun perlu juga kajian efektivitas agar industri mendapat kejelasan manfaatnya. Laboratorium terstandar untuk pengujian SNI perlu diperbanyak, dan berbagai peraturan fortifikasi pangan perlu harmonisasi dan sinkronisasi. (Rep:Rhm & Han; Ed: Roz & Elm)
Terkait: