Estimated reading time: 6 menit
Fortifikasi minyak goreng telah dirintis sejak tahun 2008. Namun, implementasinya sampai saat ini belum dapat mencakup 100% minyak goreng yang beredar. Prof. Drajat Martianto, membuka diskusi FGD Fortifikasi Pangan Wajib pada November-Desember 2023 lalu, dengan menyampaikan fakta bahwa baru 30% minyak goreng yang beredar difortifikasi yaitu minyak goreng kemasan, selebihnya 70% yang beredar merupakan minyak curah yang belum difortifikasi. Sangat disayangkan, masyarakat beperndapatan rendah, yang merupakan sasaran utama fortifikasi minyak goreng, lebih mengonsumsi minyak goreng curah dibandingkan minyak goreng kemasan. Maka dari itu, fortifikasi minyak goreng belum dapat efektif mengenai sasaran.
Efektivitas fortifikasi sangat tergantung pada ketersediaan peraturan dan penegakannya di lapang. Ketika upaya untuk melakukan fortifikasi minyak masih pada taraf inisiatif sehingga fortifikasi minyak goreng masih bersifat sukarela (voluntary), tidak semua minyak goreng sawit dalam kemasan sudah difortifikasi. Sebuah studi (2017) melakukan survei di 7 kota besar di Indonesia menggunakan icheck-chrome untuk pengukuran kadar vitamin A kualitatif (semi kuantitatif). Bandar Lampung dan Padang memiliki lebih banyak akses dengan kecukupan vitamin A dari minyak goreng sawit bermerek yang telah difortifikasi sekitar 44% dan 50%. Studi masih menemukan sekitar 74% dan 77% minyak goreng sawit bermerek yang tidak difortifikasi di Medan dan Jakarta Selatan.

Gambar 1. Akses terhadap minyak goreng sawit terfortifikasi di beberapa wilayah
Saat ini seluruh minyak goreng dalam kemasan telah difortifikasi dengan vitamin A seiring telah diimplementasikannya SNI Minyak Goreng Sawit. Namun demikian minyak goreng curah belum difortifikasi dengan vitamin A. Perwakilan dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Pak Arief Wibisono mengungkapkan bahwa industri siap dan berkomitmen menjalankan fortifikasi minyak goreng. Biaya fortifikasi minyak goreng sawit bukan menjadi suatu masalah besar. Hal yang menjadi perhatian dari industri adalah perlunya harmonisasi antara Permendag, Permenperin, dan Peraturan BPOM supaya pengaturan fortifikasi minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah menjadi konsisten. Selain itu, Pak Arief juga mengatakan bahwa sejak ada kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), produsen diwajibkan untuk mengalokasikan 30% untuk Minyakita, sehingga produksi minyak goreng kemasan premium proporsinya semakin sedikit, salah satunya karena faktor harga yang mempengaruhi permintaan.
Dalam mendukung transformasi minyak curah menjadi kemasan, Prof. Nuri Andarwulan juga setuju untuk mengharmonisasi peraturan mengenai fortifikasi minyak goreng sawit dengan menekankan pada sinkronisasi antara Kementerian dan Lembaga terkait. Selain itu, edukasi kepada masyarakat penjual maupun konsumen dalam penanganan minyak goreng sawit perlu ditingkatkan untuk mencegah penurunan kadar vitamin A akibat terkena cahaya matahari. Ekspektasi pihak industri terhadap pemerintah adalah koordinasi antar kementerian dan lembaga yang lebih baik dalam mengharmonisasi regulasi.
Dari hasil FGD tersebut, langkah-langkah transformasi minyak curah menjadi minyak kemasan dimulai dengan melakukan uji efektifitas dari fortifikasi minyak goreng sawit terhadap perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Hal itu akan memperkuat komitmen Industri minyak goreng dalam melakukan fortifikasi. Untuk mengupayakan hal tersebut, KFI sedang menyusun panduan untuk monitoring dan evaluasi. Panduan ini nantinya akan membantu mengukur efektivitas fortifikasi MGS mulai dari tahap produksi, peredaran, hingga dampaknya pada konsumen.
Studi dampak fortifikasi sebelumnya menyebutkan bahwa kadar fortifikan 45 IU efektif menaikan kadar serum vitamin A pada responden. Terkait stabilitas vitamin A, hasil studi menunjukkan bahwa pada penyimpanan minyak di tempat tertutup vitamin A stabil dalam waktu 9 bulan, setelah itu mulai mengalami penurunan. Disisi lain perputaran penjualan/konsumsi MGS curah kurang dari satu bulan, sehingga kadar vitamin A masih cukup saat di tangan konsumen. Dari studi inilah, dasar penentuan kadar fortifikan 45 IU ditetapkan dalam SNI. Meskipun demikian, masih diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas SNI wajib tersebut. Untuk mendukung monitoring dan evaluasi, laboratorium terstandar perlu diperbanyak.
Studi Kelayakan Fortifikasi dalam Pemberlakuan SNI MGS
Selain itu, penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya dan Ciamis tahun 2013 (Sandjaya, et al. 2015) menunjukan hasil bahwa konsumsi minyak goreng yang difortifikasi ternyata meningkatkan status vitamin A (serum retinol) pada semua kelompok umur, terutama anak usia 6-12 bulan yang masih menyusui. Meningkatnya status vitamin A pada ibu menyusui diikuti oleh meningkatnya status vitamin A pada bayi yang disusui. Bukan hanya itu, minyak goreng yang difortifikasi juga telah berhasil menurunkan prevalensi KVA pada berbagai kelompok umur di wilayah penelitian (Gambar 3).

Gambar 2. Perubahan kadar serum retinol pada anak sekolah di Barang Lompo sebelum dan setelah peredaran minyak curah yang difortifikasi

Gambar 3. Dampak fortifiaksi minyak goreng curah terhadap prevalensi kurang vitamin A
Setelah memperhatikan berbagai kajian manfaat fortifikasi vitamin A dalam meningkatkan status gizi masyarakat, Kementerian Kesehatan mendorong Kementerian Perindustrian untuk menetapkan pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit Nomor 7709 Tahun 2012 secara wajib. SNI mengatur secara rinci persyararan minyak goreng sawit yang diproduksi, kandungan vitamin A yang harus ada, yaotu 45 IU di tingkat industri. Jumlah tersebut ditetapkan atas dasar sifat vitamin A yang dapat tereduksi akibat paparan cahaya dan panas, sehingga Kementerian Perindustrian menetapkan Permenperin 87 tahun 2013 yang mengatur berbagai hal teknis, termasuk kadar vitamin A di pasaran sekurang-kurangnya 20 IU. Namun demikian, SNI ini baru dapat efektif dilaksanakan pada tahun 2016 dikarenakan isu politis dan teknis. Dalam perkembangan selanjutnya, SNI Minyak Goreng Sawit direvisi dengan batasan kandungan vitamin A/beta karoten 45IU diterapkan tahun 2019 (SNI MGS 7709-2019). Akan tetapi, pada tahun 2020, penerapan SNI wajib dihentikan kembali karena pandemi Covid-19.
Dengan demikian, meskipun manfaat dari foritfikasi telah teruji dari berbagai studi, manfaat ini belum bisa dirasakan semua pihak karena terbatasnya cakupan fortifikasi yang mana sejauh ini hanya pada minyak goreng kemasan. Ditambah isu belum tersedianya fortifikasi pada semua minyak goreng sawit yang beredar, maka penting untuk melakukan pengujian vitamin A sebagai monitoring pemberlakuan SNI MGS secara wajib, disertai dengan kebijakan yang mewajibkan minyak goreng sawit dikemas. Pemberlakuan wajib kemas minyak goreng sawit dapat mulai dilakukan secara bertahap, dari industri minyak goreng sawit di Jawa yang sudah lebih siap. Seiring dengan hal tersebut, kementerian dan lembaga terkait harus menyinkronisasi regulasi-regulasi terkait fortifikasi pangan. Advokasi yang kuat melalui forum LSFF yang sedang dibentuk sangatlah diperlukan. Diskusi mendalam untuk memformulasikan transformasi industri minyak goreng dominan minyak curah menjadi 100% minyak kemasan yang terfortifikasi secara bertahap dapat dilakukan dalam forum yang dikoordinasikan oleh Bappenas ini.
Terkait: